Rabu, 21 Oktober 2015

Dimana Supremasi Hukum?

Ketakutan saya selagi menyetir sendiri kian hari kian mencekam. Belakangan saya makin cemas dengan kemungkinan menjadi pembunuh. Biarpun tidak dikehendaki dan sama sekali tidak bersalah, konsekuensi yuridis, ekonomis hingga sosial dan spiritual harus saya tanggung bahkan seumur hidup.

Hal itu terjadi hanya karena persoalan-yang semula insidental bisa menjadi fenomenal-saat saya harus terkejut, deg-degan, marah atau mengumpat dalam hati, ketika di hidung kendaraan saya muncul tiba-tiba (entah dari gang, tikungan, atau menyalib dari belakang) sebuah motor yang dikendarai seorang ibu (kadang tanpa helm) hampir tanpa perhitungan, kewaspadaan, atau keahlian mengendalikan laju atau setang sepeda motornya.

Pemandangan seperti itu cukup sering kita melihatnya. Sebuah motor entah dikendarai ayah atau ibunya, membonceng bisa lebih dua anak (plus bayi digendong), di mana hanya orangtua yang berlindung kepala. Saya tidak paham bagaimana orangtua itu memperhitungkan risiko kecelakaan dengan membiarkan anaknya tanpa pelindung atau semacam pikiran "anak boleh mati atau celaka yang penting orangtua tidak". Akal sehat sudah lenyap atau diremehkan oleh masyarakat kita?

Yang lebih mengherankan dan membuat saya marah sebagai warga sipil dari negara dengan supremasi hukum, apa yang terjadi dalam hati dan kepala polisi yang juga menyaksikan hal itu setiap hari, bahkan melintas rutin di markasnya yang ditempeli spanduk mentereng "Siap Melayani Rakyat". Itu slogan, kebenaran hukum, moral, atau lip service atau benar-benar dusta belaka?

Apa yang bisa dibanggakan polisi, sebagai penegak hukum dan pemelihara keamanan, lalu memberikan hak pada mereka untuk menuntut otoritas lebih tinggi atau anggaran lebih besar, ketika persoalan-persoalan hukum seperti di atas, dari tingkat yang sepele hingga persoalan kebijakan nasional tidak terselesaikan dengan baik, bahkan diremehkan atau dibiarkan? Di mana hukum itu sendiri, ketika penegaknya sendiri-yang diwajibkan secara moral, kultural dan konstitusional-tak memedulikan bahkan sebagian melecehkan atau memanipulasi?

Ada apa dengan hukum, saat kasus Sengkon dan Karta berulang tanpa henti? Ketika rakyat papa (seperti nenek Asyani terdakwa pencuri kayu, Minah terdakwa pencuri kakao, dan banyak lainnya) dihukum karena kemiskinan mereka, sementara pembesar berkelit dari korupsi miliaran rupiah karena kuasa dan kekayaan mereka? Hukum apa yang berkoar memberikan hak (remisi) kepada narapidana yang telah menjagal hak (hidup, sosial, kultural) ribuan orang bahkan anak-anak masa depan kita?

Mengapa hukum yang kita junjung membiarkan hakim Sarpin melanggar aturan yang harusnya ia jaga, menolak panggilan lembaga yang harus dihormatinya? Kenapa hukum membiarkan polisi sebagai penegaknya, mempergunakan hukum itu sendiri untuk show of force, congkak dan arogan mendemonstrasikan kuasa korps dan institusinya terhadap korps dan institusi lain?

Di mana negara yang berbasis hukum ini memainkan peran dan hukumnya sendiri? Mengapa ada institusi bagian bisa menentang pusat pimpinan, menjadikannya tak tersentuh dan membuatnya menjadi "negara dalam negara"? Hukum seperti apa yang berlaku di negeri ini, ketika para penyusun dan pembuatnya sendiri seenaknya memanipulasi pasal-pasal, memproduksi regulasi yang menguntungkan kantong sendiri atau kepentingan lain, bahkan pihak asing yang memiliki niat jahat hampir tanpa selubung? Sistem hukum apa ini ketika ia dengan mudah dipermainkan oleh eksekutif dan legislatif, lembaga-lembaga tinggi yang paling bertanggung jawab atas hal itu berkelahi sendiri, meninggalkan rakyat dalam ketidakpastian aturan atau anggaran?

Apa yang terjadi pada hukum kita?

Arus alternatif

Saya tidak mampu, tepatnya harus putus asa, melempar pertanyaan-pertanyaan di atas kepada mereka, aparatus hukum independen, baik yang tergolong pemikir, peneliti-akademisi, praktisi, atau aktivis pembela hukum-apalagi, tentu saja, para penegak atau produsen hukum konstitusional yang realitasnya tergambar di atas-ketika menjumpai mereka pun sibuk berteriak juga beretorika dengan paradigma dan landasan pragmatis yang sama dengan yang mereka teriaki.

Mengapa, selain persoalan-persoalan praktis-pragmatis bahkan oportunistis yang belakangan menjadi ritme dasar diskursus hukum kita, tidak ada tinjauan idealistik, semacam renungan kecil: untuk apa sebenarnya hukum itu ada jika dalam praksisnya terjadi hal-hal menggiriskan di atas? Dari mana sesungguhnya asal muasal hukum yang kita tegakkan saat ini? Apa filosofi, ideologi atau realitas sosio-kultural yang melatari dasar hukum kita saat ini? Bagaimana seharusnya hukum harus dikembangkan di masa depan? Apa peran, posisi dan fungsinya yang lebih tepat dengan realitas mutakhir kita?

Di mana semua pembicaraan itu? Adakah diskursus itu? Jika ada, kenapa ia tidak bisa menjadi alternative-stream di samping mainstream yang ada? Apakah mereka, semua yang terlibat dalam masalah ini, tidak lagi membutuhkan semua hal diskursif atau praksis dari hukum yang idealistik itu karena kuasa, uang, selebrasi dan popularitas-sebagai mantra hedonisme modern-jauh lebih menarik ketimbang kecerewetan intelektual dan spiritual yang ideal itu?

Saya tak berhak membuat klaim atau judgement karena saya bukanlah aparatus legal dalam pusaran yuridis itu. Namun, saya adalah juga pihak yang terlibat, baik secara historis, sosial, moral dan kultural. Setidaknya saya adalah korban potensial yang bisa saja, kapan saja, menjadi obyek yuridis entah karena menjadi "pembunuh tidak sengaja" atau dikriminalisasi oleh satu pihak.

Secara moral-kultural saya berhak dan harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu dan berhak mendapatkan jawabannya, yang serius dan bertanggung jawab. Karena mereka semua ternyata juga menggunakan fasilitas, prasarana bahkan anggaran negara (yang sebagian adalah iuran dari pajak keringat, air mata dan darah saya sebagai bagian dari rakyat semesta).

Karena itu, jika saya sebagai warga harus loyal dan patuh pada hukum, bahkan menjunjung posisinya yang suprematif, saya dengan keras mempertanyakan hukum apa ini, yang berlaku atas badan, pikiran dan jiwa saya ini, begitu mudah dipermainkan, dimanipulasi atau dijadikan kuda beban dan tunggangan segelintir orang? Mengapa hukum begitu mudah dijadikan arsenal untuk menghabisi orang lain, menghina institusi, bahkan negara dan kepala negaranya sendiri? Mengapa hukum yang semestinya menjadi penyelesai akhir semua masalah negara dan kemasyarakatan, tetapi justru kini menjadi masalah besar bagi dua entitas besar di mana kita di dalamnya itu?

Lalu apa yang bisa kita perbuat pada hukum seperti itu? Apabila hukum itu sendiri menjadi masalah dan hukum itu sendiri tidak memiliki mekanisme atau epistemologi untuk mengoreksi dirinya sendiri? Tidak lain, hukum harus dihukum. Sebagai bangsa kita harus mencari, apa pun yang dalam diri kita, kekuatan yang mampu memberikan sanksi atau hukuman bagi hukum yang tetapkan dan praktikkan sekarang ini.

Sumber hukum lain

Mungkin sebelum sejauh itu, baik bagi kita bersama untuk merenungkan sebuah kemungkinan-tepatnya tuntutan-bagaimana hukum apa pun yang harus atau "tak terhindarkan" ditegakkan di negeri ini, semestinya mengacu pada kenyataan faktual dan natural dari sejarah, adat, kebudayaan bahkan agama yang ada di tanah lahir ini. Artinya, secara imperatif seluruh produk hukum kita, baik konstitusi atau turunannya dalam KUHAP dan lain-lain, tidak bisa lagi mengacu pada basis historis, filosofis atau ideologis yang bukan atau tidak ada dalam diri kita sendiri. Entah itu yang bernama Anglo-Saxon atau Eropa Kontinental, apalagi kolonial.

Betapapun, kita dengan mudah mafhum, latar-latar di atas berkaitan dengan kepentingan dan perjalanan peradaban di mana sebuah produk hukum dilahirkan. Inggris, Jerman, Perancis, Belanda atau negeri kontinental mana pun memiliki latar yang tidak sama jika tidak bisa dikatakan berbeda bahkan diametral, dengan apa yang kita punya.

Sebagai warga sebuah bangsa yang terdiri dari ratusan (suku) bangsa dengan riwayat kebudayaannya masing-masing yang begitu (dan terlalu) kaya itu, selaiknya kita memberikan respek pada khazanah atau sejarah hukum (aturan) yang ada di setiap (suku) bangsa itu. Bukan saja karena sejarah ribuan tahun dari (suku-suku) bangsa itu telah membuktikan keampuhan dan kekenyalan produk hukumnya sehingga mampu bertahan melewati abad, milenia, dan zaman penuh pancaroba, melainkan juga karena sebenarnya tradisi atau kebudayaan hukum itu "diri kita", jati diri kita juga sesungguhnya.

Namun, apakah ribuan khazanah luar biasa itu pernah menjadi pertimbangan dalam penyusunan regulasi atau tata hukum nasional kita? Tanyalah pada diri sendiri, komunitas hukum juga, adakah ahli-ahli hukum adat (yang bahkan pemerintahan kolonial Hindia Belanda memiliki cukup banyak) yang kini cukup berwibawa, memiliki otoritas tinggi, pendapatnya didengar dan memengaruhi dan diminta pertimbangannya dalam setiap penyusunan UU atau regulasi apa pun? Adakah jurusan Hukum Adat dalam fakultas-fakultas hukum di seluruh negeri ini?

Jika tidak negatif, jawabannya pastilah sangat minor. Sekian lama hal ini terjadi, tetapi tidak pernah dianggap atau dirasakan sebagai lack atau kesenjangan, semacam kekosongan atau kealpaan, dari diri kita bersama, terutama para penegak hukum. Belum lagi kita persoalkan hukum agama, Islam misalnya (syariah), yang sudah berurat berakar dalam tata kehidupan nasional kita. Tentu saja, tidak perlu kita menerapkan syariah sebagai hukum formal-legal, sebagaimana di Aceh atau di beberapa negara lain. Namun, apakah tidak ada hal positif dari syariah yang dapat menjadi masukan atau bagian dari tata hukum atau sistem regulasi kita?

Ini menjadi jawaban bagi counter-critic bahwa penolakan hukum Eropa bukanlah satu bentuk xenofobia. Namun, bisa juga diserap kebaikannya yang cocok dengan realitas faktual kita, tanpa harus jadi acuan utama atau dijiplak apalagi melulu menjadi replikanya.

Sudah saatnya, ketika kita masih memegang slogan kontinental itu, "supremasi hukum" itu, kita tetap harus berani memperjuangkan kedaulatan negeri dan bangsa atas persoalan ini. Artinya, Trisakti Soekarno tidak akan bisa berjalan jika tidak ditambah dengan kedaulatan hukum berbasis realitas historis dan kultural kita sendiri. Apa pun yang akan kita perjuangkan untuk tegaknya kemandirian ekonomi, politik, atau kebudayaan, akan selalu runtuh karena dihancurkan oleh hukum yang ternyata tidak mampu menjaga kewenangan dan kehormatannya sendiri, seperti terjadi belakangan ini.

Tak ada pihak yang tidak berkepentingan dalam hal ini. Karena semua warga, jika tidak subyek adalah obyek hukum. Di antara semua itu, tidak lain para pelaksana, penjaga atau penegak hukum adalah aktor utama, ketika pemerintah (kekuasaan yang diamanahkan rakyat) khususnya kepala negara, menjadi pemeran utama dalam drama yuridis yang berdurasi tidak pendek ini. Namun, siapa yang berani memulai? Jawablah.

Lemahnya Regulasi KPK

Saat ini, Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sedang diuji di Mahkamah Konstitusi.

Secara eksplisit pasal tersebut menyatakan, ”Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.” Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal 32 Ayat (2) undang-undang ini cukup rentan terhadap siapa pun yang menjabat komisioner KPK untuk dicari-dicari kesalahannya.

Heijder dalam Kritieke Zones In De Strafrechtswetenschappen menulis, antara lain, bahwa metodologi dari ilmu hukum modern harus memiliki perhatian yang besar untuk hal-hal yang nyata ada. Salah satu fase pemikiran hukum pidana yang sangat fundamental, kata Heijder, adalah refleksi filsafati. Fase pemikiran ini menjadi penting dalam rangka penyusunan dan pembentukan suatu aturan hukum agar tidak menyimpang dari tujuan dan fungsi aturan hukum itu sendiri.

Konsep perlindungan hukum

Pembentukan suatu ketentuan pidana secara mutatis mutandis harus bersinergi dengan tujuan dan fungsi hukum pidana itu sendiri. Tujuan hukum pidana, selain melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan negara, juga bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan. Tujuan ini berpegang pada postulat le salut du people est la supreme loi yang berarti hukum tertinggi adalah perlindungan. Sementara fungsi hukum pidana, selain melindungi kepentingan hukum, juga memberi keabsahan bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi melindungi kepentingan hukum.

Konsep perlindungan hukum dalam konteks hukum pidana dapat dilihat secara in abstracto dan in concreto. Perlindungan in abstracto mengandung makna substansi suatu kaidah hukum haruslah memberikan perlindungan. Sementara perlindungan hukum in concreto mengandung arti bahwa praktik penegakan hukum harus memberikan perlindungan.

Paling tidak ada dua parameter yang dapat dijadikan ukuran untuk menyatakan apakah perlindungan hukum in abstracto dikandung oleh suatu norma hukum. Pertama, apakah suatu norma menjamin kepastian hukum. Kedua, apakah suatu norma bersifat diskriminatif. Kedua parameter tersebut bersifat kumulatif. Artinya, jika salah satu saja parameter tidak terpenuhi, dapat dikatakan bahwa norma hukum tersebut tidak memberikan perlindungan secara in abstracto.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 32 Ayat (2) UU No 30/2002 tidaklah memberikan perlindungan hukum secara in abstracto terhadap komisioner KPK karena tidak memberikan kepastian hukum dan bersifat diskriminatif. Dasar argumentasinya adalah, pertama, penetapan tersangka berdasarkan Pasal 1 butir 14 KUHAP hanyalah berdasarkan bukti permulaan. Oleh karena itu, komisioner yang berstatus sebagai tersangka harus tetap dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila seseorang komisioner sebagai tersangka harus diberhentikan dari jabatannya, hal ini melanggar asas praduga tidak bersalah. Terlebih jika penetapan komisioner sebagai tersangka itu dilakukan atas dugaan suatu tindak pidana yang terjadi sebelum orang tersebut menjadi pimpinan KPK.

Kedua, masih berkaitan dengan kepastian hukum, seyogianya pasal ini ditafsirkan secara restriktif bahwa pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan diberhentikan sementara dari jabatannya jika dan hanya jika kejahatan tersebut dilakukan pada saat yang bersangkutan menjabat sebagai pimpinan KPK. Interpretasi yang demikian adalah logis-sistematis-historikal, sebab untuk menjabat pimpinan KPK melalui seleksi berjenjang yang sangat ketat dengan melibatkan partisipasi publik. Tentunya rekam jejak orang tersebut juga ditelusuri. Jika orang tersebut memiliki masalah hukum, semestinya panitia seleksi dan DPR tidak memilih yang bersangkutan sebagai pimpinan KPK.

Ketiga, anak kalimat yang menyatakan, ”...menjadi tersangka tindak pidana kejahatan...” dalam pasal ini bersifat diskriminatif jika dibandingkan sejumlah ketentuan perundang-undangan yang mengatur pemberhentian terhadap pejabat publik yang diduga melakukan suatu tindak pidana. Tak ada pembatasan terkait tindak pidana kejahatan dalam pasal ini membawa konsekuensi tindak pidana kejahatan apa pun yang dilakukan oleh pimpinan KPK dan yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka harus diberhentikan sementara dari jabatannya.

Sebagai misal, kalau seorang pimpinan KPK tidak memberi makan hewan piaraannya secara wajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 KUHP, dan kemudian dijadikan tersangka, maka yang bersangkutan harus diberhentikan sementara dari pimpinan KPK karena Pasal 302 KUHP tersebut terdapat dalam Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana kejahatan meskipun hanya diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan.

Bandingkan dengan ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yang mengatur secara rinci kualifikasi tindak pidana yang dapat digunakan untuk memberhentikan seorang presiden dan wakil presiden, yakni hanya tindak pidana pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya. Demikian pula ketentuan terhadap anggota Badan Pemeriksa Keuangan dan anggota Komisi Yudisial yang diberhentikan karena melakukan suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana mati. Perbedaan lain juga jelas terlihat dalam UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan kepala daerah diberhentikan sementara jika yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI. Perbedaan pengaturan demikian menunjukkan adanya diskriminasi karena tidak ada perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Seyogianya harus ada pembatasan terhadap tindak pidana kejahatan yang dilakukan. Lazimnya hanya sebatas tindak pidana korupsi, terorisme, pelanggaran berat hak asasi manusia dan narkotika. Hal ini karena kejahatan-kejahatan tersebut adalah kejahatan luar biasa yang memiliki sifat dan karakter sebagai kejahatan internasional. Pembatasan lain juga dapat ditujukan terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 10 tahun ke atas. Hal ini memperlihatkan tingkat keseriusan dari kejahatan tersebut. Dalam konteks KUHP, tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 10 tahun adalah tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara dan tindak pidana kejahatan terhadap nyawa.

Keempat, diskriminasi lainnya adalah bahwa dalam pasal ini tidak diatur mengenai tindakan pemolisian. Hal ini berbeda dengan sejumlah ketentuan UU terkait tindakan pemolisian terhadap pejabat publik. Tindakan pemolisian terhadap hakim agung, hakim konstitusi, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan anggota Komisi Yudisial dilakukan dengan perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis Presiden. Prosedur yang demikian tidak berlaku dalam hal tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana.

Perlu ada pembatasan

Dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap komisioner KPK yang akan datang, seyogianya Pasal 32 Ayat (2) UU No 30/2002 dibatasi dalam tiga hal. Pertama, tindak pidana kejahatan harus dipersempit hanya kejahatan korupsi, terorisme, narkotika, pelanggaran berat HAM, dan tindak pidana yang diancam pidana lebih dari 10 tahun penjara.

Kedua, komisioner KPK diberhentikan sementara dari jabatannya jika yang bersangkutan sebagai tersangka terhadap tindak pidana kejahatan sebagaimana yang disebut di atas dan jika tindak pidana kejahatan tersebut dilakukan dalam masa jabatannya.

Ketiga, jika tindak pidana kejahatan tersebut dilakukan sebelum yang bersangkutan menjabat sebagai komisioner KPK, maka proses hukum terhadapnya dilakukan setelah yang bersangkutan tidak lagi menjabat sebagai komisioner KPK. Hal ini dapat dilakukan dengan mekanisme rusten atau pembantaran daluwarsa dalam hukum pidana, dengan maksud agar yang bersangkutan masih tetap dapat diproses secara hukum setelah tidak lagi menjabat. Mekanisme rusten adalah untuk mencegah daluwarsanya penuntutan pidana dan tidak memberikan imunitas terhadap siapa pun.