Para ilmuwan akhirnya harus mengakui rancangan alam semesta begitu sempurna hingga mengisyaratkan adanya perancangan cerdas, tapi mereka tetap berusaha menghindari penjelasan yang mencakup istilah Tuhan.
Jika kita pernah berpikir hidup adalah mimpi, tenang saja. Beberapa ilmuwan tersohor mungkin sependapat. Para filsuf sudah lama bertanya apakah memang ada dunia nyata di luar sana, ataukah “realitas” hanyalah kilasan imajinasi kita.
Lalu datanglah fisikawan quantum, yang menyingkap alam ketidakpastian atom ala Alice in Wonderland, di mana partikel-partikel bisa berupa gelombang, dan benda padat larut ke dalam pola samar energi quantum.
Dan sekarang kosmolog ikut-ikutan, menyatakan bahwa apa yang kita persepsikan sebagai alam semesta mungkin sebetulnya tidak lebih dari simulasi raksasa.
Cerita di balik pernyataan janggal ini berawal dari pertanyaan menjengkelkan: kenapa alam semesta begitu ramah hayati? Sudah lama kosmolog dibingungkan oleh fakta bahwa hukum alam seolah diramu dengan lihai untuk memperkenankan munculnya kehidupan. Ambil contohnya unsur karbon, bahan vital yang menjadi dasar seluruh kehidupan. Itu tidak dibuat dalam [peristiwa] big bang yang melahirkan alam semesta. Justru, karbon dimasak di jeroan bintang-bintang raksasa, yang lantas meledak dan memuntahkan jelaga ke segenap alam semesta.
Proses yang menghasilkan karbon adalah reaksi nuklir rumit. Ternyata, keseluruhan rantai peristiwa tersebut perkara yang amat ketat, meminjam kata-kata Lord Wellington. Jika gaya yang menjaga kesatuan nukleus atom sedikit lebih kuat atau sedikit lebih lemah, reaksi takkan bekerja dengan benar dan kehidupan mungkin tak pernah ada.
Mendiang astronom Inggris Fred Hoyle begitu terpesona oleh kebetulan bahwa gaya nuklir mempunyai kekuatan tepat untuk menghasilkan makhluk seperti dirinya. Dia memproklamirkan alam semesta adalah “konspirasi terencana”. Karena ini terdengar mirip sekali dengan pemeliharaan ilahi, para kosmolog bersusah-payah mencari jawaban ilmiah untuk teka-teki keramah-hayatian kosmik.
Yang mereka hasilkan adalah alam semesta jamak, atau “multiverse”. Teori ini menyatakan apa yang kita sebut “alam semesta” bukanlah alam semesta. Ia adalah fragmen inifinitesimal dari sistem yang jauh lebih akbar dan rumit di mana kawasan kosmik kita, betapapun luasnya, hanya melambangkan satu gelembung ruang di antara gelembung-gelembung lain yang tak terhitung, atau alam semesta saku (pocket universe).
Keadaan jadi menarik ketika teori multiverse digabung dengan ide-ide dari fisika partikel subatom. Bukti terus menggunung bahwa apa yang fisikawan anggap hukum ajeg karunia Tuhan mungkin lebih mirip regulasi lokal, berlaku di petak kosmik kita, tapi beda di alam semesta saku lainnya. Jika bepergian ke satu triliun cahaya di luar galaksi Andromeda, Anda mungkin berada di alam semesta yang gravitasinya sedikit lebih kuat atau elektronnya sedikit lebih berat.
Mayoritas alam-alam semesta lain ini tidak harus mengandung kebetulan-kebetulan setelan halus yang diperlukan untuk munculnya kehidupan; mereka tandus, jadi terus tidak terlihat. Hanya di alam-alam semesta Goldilocks seperti milik kita, di mana aspek-aspeknya ternyata tepat (murni kebetulan), makhluk berperasaan akan timbul dan takjub oleh betapa ramah hayatinya alam semesta mereka.
Itu ide apik, dan sangat populer di kalangan ilmuwan. Tapi itu membawa implikasi ganjil. Karena jumlah total alam semesta saku tidak terbatas, harus ada sekurangnya satu yang bukan cuma berpenghuni, tapi juga didiami oleh peradaban maju—komunitas berteknologi dengan kemampuan komputer memadai untuk menciptakan kesadaran buatan. Bahkan, sebagian ilmuwan komputer berpikir teknologi kita hampir menggapai mesin berpikir.
Tinggal satu langkah kecil dari penciptaan pikiran buatan pada mesin menuju pensimulasian seluruh dunia virtual untuk dihuni makhluk simulasi. Skenario ini jadi familiar sejak dipopulerkan oleh film-film The Matrix.
Kini sebagian ilmuwan menyatakan itu harus diambil serius. “Barangkali kita adalah simulasi…ciptaan suatu entitas tertinggi atau super,” renung Astronomer Royal Inggris, Sir Martin Rees, penganjur kukuh teori multiverse. Dia bertanya-tanya apakah keseluruhan alam semesta fisik adalah aplikasi di dalam realitas virtual, sehingga “kita ada dalam matriks ketimbang fisika itu sendiri”.
Adakah justifikasi untuk mempercayai ide sinting ini? Tentu saja, kata Nic Bostrom, filsuf di Universitas Oxford yang bahkan punya situs khusus untuk topik ini (www.simulation-argument.com). “Karena komputernya begitu canggih, mereka bisa menjalankan banyak simulasi,” tulisnya dalam The Philosophical Quarterly.
Jadi jika ada peradaban berkemampuan simulasi kosmik, maka alam-alam semesta palsu yang mereka ciptakan akan cepat berkembangbiak melampaui jumlah alam semesta asli. Biar bagaimanapun, realitas virtual jauh lebih murah daripada yang asli. Jadi berdasarkan statistik sederhana, seorang pengamat acak seperti saya atau Anda kemungkinan besar adalah makhluk simulasi di dunia palsu. Dan dipandang dari dalam matriks, kita tak pernah bisa menyebut perbedaannya.
Atau bisa? John Barrow, rekan Martin Rees di Universitas Cambridge, penasaran apakah para simulator akan bersusah-payah dan berhambur-hambur menjadikan realitas virtual tahan penyalahgunaan. Jangan-jangan jika menengok cukup cermat, kita akan menangkap pemandangan tertatih-tatih.
Dia bahkan mengisyaratkan bahwa malfungsi dalam sejarah simulasi kosmik kita sudah ditemukan oleh John Webb di Universitas NSW. Webb menganalisa cahaya dari quasar-quasar jauh, dan menemukan sesuatu yang ganjil terjadi sekitar 6 miliar tahun lampau—kecepatan cahaya bergeser tipis. Mungkinkah ini berarti para simulator sedang melĂ©ng?
Harus diakui, saya turut bertanggungjawab atas kekacauan ini. Tahun lalu saya menulis sebuah artikel untuk The New York Times. Isinya menyatakan, sekali teori multiverse keluar, skenario-skenario mirip Matrix pasti mengekor. Kesimpulan saya: mungkin seharusnya kita mempertahankan skeptisime sehat terhadap konsep multiverse sampai hal ini dijernihkan. Tapi jauh dari meredakan teori, itu justru menggenjot antusiasme terhadapnya.
Bagaimana akhir semua itu? Jelek, barangkali. Setelah para simulator tahu kita mengenali mereka, dan permainan sudah habis, mereka mungkin kehilangan minat dan memutuskan menekan tombol “hapus”. Demi kebaikan Anda, jangan percaya sepatah katapun tulisan saya ini.
Konsep Multiverse dan Pararel Universe merupakan sebuah konsep yang menarik karena dalam konsep tersebut menyebutkan bahwa alam semesta ini tidak hanya satu, melainkan banyak. Banyak orang yang menentang dua konsep tersebut, sebuah kejadian yang sangat mirip dengan penolakan orang yang percaya bahwa bumi adalah pusat alam semesta dan tidak mungkin ada planet lain di luar bumi. Meskipun sama, namun Multiverse dan Pararel Universe mempunyai dua buah perbedaan yang mendasar. Multiverse hanya menyebutkan bahwa terdapat alam semesta lain di luar alam semesta kita, tanpa menyebutkan bahwa ada kemungkinan-kemungkinan alam semesta yang berbentuk mirip atau menyerupai dengan alam semesta kita. Sedangkan Pararel Universe lebih mengedepankan tentang adanya alam semesta lain yang mirip dengan alam semesta yang ada pada kita. Bahkan, dalam teori tersebut memungkinkan adanya versi-versi lain dari diri kita dengan jalan hidup yang sedikit atau banyak berbeda.
Secara nalar, kedua konsep tersebut sama-sama dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Namun, saya sendiri sebagai seorang amatir tidak terlalu suka dengan konsep Pararel Universe dan condong kepada konsep Multiverse saja. Di luar sana, barangkali terdapat ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan alam semesta lain. Namun, masing-masing dari alam semesta itu berbentuk unik dan mempunyai ciri khas mereka masing-masing. Jika satu atau dua alam semesta mempunyai kemiripan, itu lebih disebabkan karena kebetulan.
Analoginya seperti ini, di dunia ini ada milyaran manusia. Satu dan lain mempunyai bentuk yang mungkin hampir sama, namun tetap saja tiap individu itu unik dan mempunyai pembeda. Hal tersebut terjadi di setiap bentuk kehidupan, maupun di setiap bentuk benda. Setiap benda dan makhluk hidup barangkali mempunyai unsur penyusun yang sama, namun mereka tetap mempunyai keunikan masing-masing. Saya mempunyai pikiran (walaupun hanya sebatas pikiran) bahwa jika ada alam semesta lain, maka bentuk dan keadaannya unik, tidak ada yang persis sama antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, tidak ada konsep diri kita yang berada di alam semesta lain. Dan, alam semesta di luar alam semesta kita mempunyai keterbatasan dalam segi jumlah. Karena ada sebuah tempat dan waktu (yang walaupun konsepnya cukup berbeda dengan ruang dan waktu yang ada di dalam alam semesta kita), tempat dan waktu itu membatasi jumlah alam semesta – alam semesta lain di luar alam semesta kita.
Memang apa yang coba saya utarakan di sini tidak mempunyai bukti. Namun, begitu juga dengan konsep pararel universe yang selama ini berkembang dengan luas. Ada yang mengatakan juga jika dejavu merupakan ketersinggungan antara dunia kita dengan sebuah dunia pararel, namun cukup aneh jika kita membayangkan bahwa ada suatu tempat (riil) yang mempunyai jumlah hampir tak terbatas/ tak terhingga. Dahulu, dalam euforia science, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa alam semesta itu sendiri tidaklah terbatas, namun bukan begitu cara alam bekerja. Semua pasti mempunyai batasnya. Dan, sekarang kita mempunyai bukti yang cukup kuat untuk percaya bahwa alam semesta kita sendiri mempunyai batasannya. Batasan dari segi luas maupun batasan dari segi usia.
Jika memang segala hal di alam semesata kita (di dalam alam semesta mempunyai batasan). Maka, kemungkinan besar semua di luar alam semesta kita juga mempunyai batasan. Meskipun mereka hadir dalam jumlah yang nyaris tak terhitung oleh matematika, namun tetap saja terdapat sebuah titik batasan. Kalaupun memang pararel universe itu ada, dan ada versi-versi dari diri kita yang muncul di sana, itu adalah sebuah konsekuensi dari hitungan random, bukan karena konsekuensi logis adanya multiverse. Memang sedikit sulit untuk membuang persamaan atau setidaknya kemiripan dari multiverse dan pararel universe. Namun bagiku, keduanya mempunyai aliran perspektif yang berbeda. Mungkin saja pendapatku ini salah, dan itu wajar karena manusia memang mempunyai keterbatasan dalam berandai-andai dan berpemikiran. Sebuah konsekuensi random dari jaringan-jaringan syaraf yang ada di kepala kita.
Paul Davies adalah profesor ilmu alam di Australian Centre for Astrobiology Universitas Macquarie. Buku terbarunya adalah How to Build a Time Machine
Tidak ada komentar:
Posting Komentar