Senin, 22 Maret 2021

PROVINSI BENGKULU DALAM SEJARAH

 

PROVINSI BENGKULU DALAM SEJARAH

Sebuah Provinsi terletak di bagian barat daya Pulau Sumatera, Provinsi Bengkulu kaya akan hasil laut, perkebunan, rempah-rempah, dan hasil tambang. Daerah ini juga terkenal sebagai salah satu tempat bertumbuhnya tanaman endemik Jamur Merah Raksasa sering disebut Rafflesia Arnoldi. Selain itu, daerah ini juga kondang sebagai salah satu tempat pengasingan bagi pejuang kemerdekaan Indonesia, salah satu di antaranya Soekarno. Provinsi Bengkulu dijuluki Bumi Rafflesia. Tumbuhan endemik Rafflesia Arnoldi (padma raksasa) ini menjadi ikon Provinsi Bengkulu karena tergolong langka dan harus dilindungi. Kepopulerannya melejit setelah adanya temuan ilmiah TS Raffles dan J Arnold pada 1818 di hutan tropis yang terletak antara Kabupaten Kepahiang dan Bengkulu Tengah.


Bengkulu juga dikenal sebagai salah satu tempat pengasingan bagi sejumlah aktivis pendukung kemerdekaan. Soekarno adalah salah satu tokoh yang pernah diasingkan oleh pemerintah Belanda di Bengkulu selama kurang lebih 4 tahun lamanya dari tahun 1938–1942.

Setelah kemerdekaan Indonesia 1945, Bengkulu menjadi keresidenan dalam provinsi Sumatera Selatan. Baru sejak tanggal 18 November 1968 ditingkatkan statusnya menjadi provinsi berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu.

Pemerintahan Bengkulu resmi berjalan sejak dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 1968 tentang Berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 dan Pelaksanaan Pemerintahan di Provinsi Bengkulu.

Dengan luas wilayah kurang dari 20.000 kilometer persegi, populasi penduduk Bengkulu sebanyak 1,99 juta jiwa pada tahun 2019.

Sejarah pembentukan

Sejak masa prasejarah, wilayah Bengkulu telah memainkan peranan penting dalam perkembangan peradaban manusia. Hal itu ditunjukkan dengan adanya peninggalan batu megalith yang tersebar di berbagai tempat, seperti di Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Rejang, dan Lebong. Batu-batu tersebut berbentuk dolmen, menhir, lumpang batu, tempayan kubur, dan budaya batu besar lainnya.

Selanjutnya, dalam laman kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan, pada sekitar abad ke-12 dan abad ke-13, di daerah Bengkulu terdapat kerajaan-kerajaan, antara lain Kerajaan Selebar di daerah Pelabuhan Pulau Baai dan Jenggalu, Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Sungai Lemau di Pondok Kelapa, Kerajaan Empat Petulai di daerah Rejang Lebong, Kerajaan Indera Pura, Kerajaan Sungai Itam di daerah Lebak, serta Kerajaan Gedung Agung dan Manau Riang di Bengkulu Selatan.

Hingga akhir abad ke-15, kerajaan-kerajaan di daerah Bengkulu berada di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit yang mengalahkan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-13. Dalam periode ini, kerajaan-kerajaan di daerah Bengkulu, khususnya para biksu (pimpinan agama Budha) datang dari Kerajaan Sriwijaya.

Pada periode ini, di Bengkulu berkembang tulisan asli daerah dengan abjad Ka Ga Nga. Setelah kekuasaan Kerajaan Majapahit mundur pada pertengahan abad ke-16, kerajaan-kerajaan di daerah Bengkulu masuk ke dalam pengaruh Kesultanan Banten.

Daerah Bengkulu pernah dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda dan Inggris. Belanda pertama kali menginjakkan kakinya di Bengkulu, tepatnya di Kerajaan Selebar pada tahun 1624 seperti disebut dalam buku berjudul Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu. Selanjutnya Kongsi dagang yang lebih dikenal dengan singkatannya VOC (Veranigde Oost Indische Campagnie) mendirikan pos perdagangan pada tahun 1633.

Pada tahun 1664, Belanda mendirikan kantor lada di Jenggalu yang jaraknya kurang lebih 20 kilometer dari Bengkulu. Pada awalnya, Kerajaan Selebar memiliki hubungan yang baik dengan Kesultanan Banten (masa pemerintahan  Sultan Ageng Tirtayasa). Namun dengan adanya serangan dari Belanda terhadap Kesultanan Banten, perdagangan antara Kesultanan Banten dan Kerajaan Selebar menjadi kurang baik.

Belanda menerapkan sistem perbudakan di Kerajaan Selebar. Sistem perbudakan yang diterapkan oleh Belanda di Kerajaaan Selebar menyebabkan adanya pemberontakan dari Kerajaan Selebar dan berusaha mengusir Belanda dari Bengkulu.

Pada saat yang sama, secara diam-diam Inggris membuat perjanjian dengan Kerajaan Selebar dan menghasutnya untuk memutuskan hubungan kerja dan perdagangan dengan Belanda. Upaya Inggris tersebut berhasil sehingga pedagang Belanda meninggalkan Bengkulu dan kembali ke Batavia pada 1670.

Sebelumnya, sejak 1685, British East India Company (EIC) telah mendirikan pusat perdagangan lada Bencoolen/Coolen. Nama Bencoolen/Coolen berasal dari bahasa Inggris “Cut Land” yang berarti tanah patah. Wilayah ini adalah wilayah patahan gempa bumi yang paling aktif di dunia.

Ekspedisi EIC saat itu dipimpin oleh Ralph Ord dan William Cowley untuk mencari pengganti pusat perdagangan lada. Setelah Pelabuhan Banten jatuh ke tangan VOC, EIC dilarang berdagang di sana. Traktat dengan Kerajaan Selebar pada tanggal 12 Juli 1685 mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung perdagangan.

Berdiri kokoh menghadap Samudra Hindia, Benteng Marlborough berada di sebuah bukit kecil di kawasan Pantai Tapak Paderi, Kelurahan Malabro, Kecamatan Teluk Segara, Bengkulu, Kamis (25/7/2019). Benteng dibangun pada masa pemerintahan empat deputi gubernur, yakni tahun 1712 hingga tahun 1718. Mulai dari Joseph Collet pada tahun 1712–1714 hingga Thomas Cooke pada 1718. Benteng peninggalan Inggris itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari bagaimana upaya pencarian hasil bumi berujung pada kolonisasi di pesisir barat Sumatera. Bangunan ini berada di atas lahan seluas 44.100 meter persegi dengan panjang 240,5 meter dan lebar 170,5 meter. Bangunan cagar budaya yang dikelola oleh Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi ini selalu ramai dikunjungi wisatawan.

Untuk mengamankan kepentingan politik dan dagang rempah-rempah, Inggris kemudian membangun dua buah benteng pertahanan. Pertama, Benteng York yang didirikan tahun 1685 di sekitar muara Sungai Serut. Kedua, Benteng Marlborough yang dibangun pada tahun 1712 hingga 1718 dengan gudang hingga senjata pertahanan. Satu bangunan lain juga terdapat di seberang Benteng Marlborough, yaitu monumen Thomas Parr atau oleh warga lokal disebut Tugu Bulek.

Perusahaan EIC ini lama kelamaan menyadari tempat itu tidak menguntungkan karena tidak bisa menghasilkan lada dalam jumlah mencukupi.

Pendudukan Inggris di Bengkulu berakhir sejak adanya Perjanjian London (Treaty of London) yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1824 dan diserahkan pada tanggal 6 April 1825. Berdasar traktat tersebut, Bengkulu diserahkan oleh kolonial Inggris kepada Belanda. Sebagai gantinya, Inggris mendapat wilayah jajahan baru, yakni kawasan Semenanjung Malaka, antara lain Singapura sekarang.

Sejak menjadi bagian dari Hindia Belanda, kekayaan Bengkulu dieksplorasi sampai ke pelosok. Belanda kemudian menemukan tambang tak terawat yang berisi kekayaan logam mulia berupa emas yang sekarang dikenal sebagai Lebong Tandai.

Penemuan deposit emas di daerah Rejang Lebong pada paruh kedua abad ke-19 tersebut menjadikan tempat itu sebagai pusat penambangan emas hingga abad ke-20.

Pada tahun 1930-an, Bengkulu menjadi tempat pembuangan sejumlah aktivis pendukung kemerdekaan termasuk Soekarno yang kelak menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Di Bengkulu, Soekarno berkenalan dengan Fatmawati yang kelak menjadi istrinya.

Pada masa penjajahan Belanda, rakyat Bengkulu pernah melakukan perlawanan yang mengakibatkan Asisten Residen Knoerle terbunuh pada 1832. Perlawanan itu muncul lantaran Knoerle melakukan tanam paksa lada dan kopi, dan merusak sendi-sendi pemerintahan rakyat dan hukum adat di Bengkulu.

Setelah perang pasifik, pada tanggal 24 Februari 1942, Jepang yang dipimpin Kolonel Kangki menduduki Kota Bengkulu. Benteng Marlborough diambil alih oleh Jepang dan dijadikan markas tentara Jepang.

Semasa pemerintahan Jepang di Bengkulu, terjadi banyak perubahan di berbagai bidang. Salah satunya di bidang pemerintahan. Istilah-istilah pemerintahan diganti dengan nama Jepang. Keresidenan diganti menjadi Syu, dan Residen diganti menjadi Syucokan.

Afdeeling (kabupaten) ditukar dengan bun-syu dan bupatinya disebut bun-syu-co. Onderafdeeling ditukar dengan gun, dan kepalanya disebut gun co. Daerah kecamatan disebut Son dan camatnya bergelar Son-tya.

Semasa penjajahan Jepang, rakyat Bengkulu ditindas dan menjadi tenaga romusha untuk mendukung kepentingan Jepang memenangkan peperangan Asia Timur Raya.

Setelah bom atom dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu dan berakhirlah masa penjajahan Jepang.

Setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Bengkulu menjadi keresidenan dalam Provinsi Sumatera Selatan. Baru sejak tanggal 18 November 1968, keresidenan tersebut ditingkatkan statusnya menjadi provinsi berdasarkan UU Nomor 9 tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu. Wilayahnya mencakup bekas Keresidenan Bengkulu.

Provinsi Bengkulu terletak di pantai barat Pulau Sumatera pada garis lintang  2°16´–3°31’ LS dan garis bujur 101°1´–103°41’ BT.

Provinsi Bengkulu berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat di sebelah utara, Samudera Indonesia dan Provinsi Lampung di sebelah selatan Samudera Indonesia di sebelah barat dan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan di sebelah timur.

Posisi geografisnya, yang terkoneksi dengan empat provinsi lain di Pulau Sumatra dan menghadap ke Samudra Hindia tersebut dinilai strategis menjadi jalur logistik alternatif.

Dengan luas wilayah 19.919,33 kilometer persegi, wilayah Provinsi Bengkulu memanjang dari perbatasan Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan  Provinsi Lampung dan jaraknya lebih kurang 567 kilometer.

Berdasarkan luas wilayahnya, Kabupaten Bengkulu Utara merupakan kabupaten terluas di Provinsi Bengkulu. Luasnya mencapai 4.392,96 kilometer persegi atau 21,93 persen dari total wilayah provinsi ini. Sedangkan, Kota Bengkulu memiliki wilayah terkecil dan menjadi satu-satunya kota administratif di Provinsi Bengkulu.

Bagian timur daerah ini berbukit-bukit dengan dataran tinggi yang subur, sedangkan pada bagian barat merupakan dataran rendah yang relatif sempit, memanjang dari utara ke selatan diselingi daerah yang bergelombang.

Provinsi ini memiliki beberapa pulau kecil baik yang berpenghuni seperti Pulau Enggano, serta pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni seperti Pulau Dua, Pulau Merbau, Pulau Bangkai, Pulau Satu, Pulau Mega, dan Pulau Tikus.

Provinsi ini juga terletak di zona tabrakan aktif dua lempeng tektonik, yaitu Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Mengacu pada kondisi tersebut, provinsi ini rawan gempa bencana, gelombang pasang, banjir, dan tanah longsor.

Pantai Humo merupakan salah satu pantai pasir putih yang paling indah di Pulau Enggano. Keindahan itu dilengkapi dengan hutan yang masih dihuni oleh burung beraneka jenis.

Pemerintahan

Sejak resmi menjadi daerah otonom pada tahun 1968, Provinsi Bengkulu telah dipimpin oleh 12 gubernur dan pejabat gubernur. Gubernur pertama Bengkulu adalah Ali Amin (1968–1974).

Selanjutnya adalah Abdul Chalik (1974–1979), Suprapto (1979–1989), HA Razie Yahya (1989–1994), Adjis Achmad (1994–1999), A Djalal Bachtiar (1999), Hasan Zen (1999–2004), Seman Widjojo (2004–2005), Agusrin M Najamuddin (29 Nopember 2005–2011), H Junaidi Hamsyah (2012–2015), dan H Ridwan Mukti.

Saat ini, Gubernur Bengkulu dijabat oleh Rohidin Mersyah, menggantikan Ridwan Mukti yang terjerat kasus hukum pada tahun 2018. Adapun sejak Oktober 2019, Saat ini dipimpin oleh Dr. H Rohidin Mersyah 2021-2026

Provinsi Bengkulu terdiri dari 9 kabupaten dan 1 kota, 128 kecamatan dan 1.514 desa/kelurahan. Kesepuluh kabupaten/kota itu adalah Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Kaur, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Lebong, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Muko Muko, dan Kabupaten Seluma.

https://kompaspedia.kompas.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar