PROVINSI BENGKULU DALAM SEJARAH
Sebuah
Provinsi terletak di bagian barat daya Pulau Sumatera, Provinsi Bengkulu kaya
akan hasil laut, perkebunan, rempah-rempah, dan hasil tambang. Daerah ini juga
terkenal sebagai salah satu tempat bertumbuhnya tanaman endemik Jamur Merah
Raksasa sering disebut Rafflesia Arnoldi. Selain itu, daerah ini juga kondang
sebagai salah satu tempat pengasingan bagi pejuang kemerdekaan Indonesia, salah
satu di antaranya Soekarno. Provinsi Bengkulu dijuluki Bumi Rafflesia. Tumbuhan
endemik Rafflesia Arnoldi (padma raksasa) ini menjadi ikon Provinsi
Bengkulu karena tergolong langka dan harus dilindungi. Kepopulerannya melejit
setelah adanya temuan ilmiah TS Raffles dan J Arnold pada 1818 di hutan tropis
yang terletak antara Kabupaten Kepahiang dan Bengkulu Tengah.
Bengkulu juga dikenal sebagai salah satu tempat pengasingan bagi sejumlah aktivis pendukung kemerdekaan. Soekarno adalah salah satu tokoh yang pernah diasingkan oleh pemerintah Belanda di Bengkulu selama kurang lebih 4 tahun lamanya dari tahun 1938–1942.
Setelah
kemerdekaan Indonesia 1945, Bengkulu menjadi keresidenan dalam provinsi
Sumatera Selatan. Baru sejak tanggal 18 November 1968 ditingkatkan statusnya
menjadi provinsi berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 9
Tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu.
Pemerintahan
Bengkulu resmi berjalan sejak dikeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 1968 tentang Berlakunya Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1967 dan Pelaksanaan Pemerintahan di Provinsi Bengkulu.
Dengan
luas wilayah kurang dari 20.000 kilometer persegi, populasi penduduk Bengkulu
sebanyak 1,99 juta jiwa pada tahun 2019.
Sejarah
pembentukan
Sejak
masa prasejarah, wilayah Bengkulu telah memainkan peranan penting dalam
perkembangan peradaban manusia. Hal itu ditunjukkan dengan adanya peninggalan
batu megalith yang tersebar di berbagai tempat, seperti di Bengkulu Utara,
Bengkulu Selatan, Rejang, dan Lebong. Batu-batu tersebut berbentuk dolmen,
menhir, lumpang batu, tempayan kubur, dan budaya batu besar lainnya.
Selanjutnya,
dalam laman
kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan,
pada sekitar abad ke-12 dan abad ke-13, di daerah Bengkulu terdapat
kerajaan-kerajaan, antara lain Kerajaan Selebar di daerah Pelabuhan Pulau Baai
dan Jenggalu, Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Sungai Lemau di Pondok Kelapa, Kerajaan
Empat Petulai di daerah Rejang Lebong, Kerajaan Indera Pura, Kerajaan Sungai
Itam di daerah Lebak, serta Kerajaan Gedung Agung dan Manau Riang di Bengkulu
Selatan.
Hingga
akhir abad ke-15, kerajaan-kerajaan di daerah Bengkulu berada di bawah pengaruh
Kerajaan Majapahit yang mengalahkan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-13. Dalam
periode ini, kerajaan-kerajaan di daerah Bengkulu, khususnya para biksu
(pimpinan agama Budha) datang dari Kerajaan Sriwijaya.
Pada
periode ini, di Bengkulu berkembang tulisan asli daerah dengan abjad Ka Ga
Nga. Setelah kekuasaan Kerajaan Majapahit mundur pada pertengahan abad ke-16,
kerajaan-kerajaan di daerah Bengkulu masuk ke dalam pengaruh Kesultanan Banten.
Daerah
Bengkulu pernah dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda dan Inggris. Belanda
pertama kali menginjakkan kakinya di Bengkulu, tepatnya di Kerajaan Selebar
pada tahun 1624 seperti disebut dalam buku berjudul Sejarah
Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu.
Selanjutnya Kongsi dagang yang lebih dikenal dengan singkatannya VOC (Veranigde
Oost Indische Campagnie) mendirikan pos perdagangan pada tahun 1633.
Pada
tahun 1664, Belanda mendirikan kantor lada di Jenggalu yang jaraknya kurang
lebih 20 kilometer dari Bengkulu. Pada awalnya, Kerajaan Selebar memiliki
hubungan yang baik dengan Kesultanan Banten (masa pemerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa). Namun dengan adanya serangan dari Belanda terhadap Kesultanan
Banten, perdagangan antara Kesultanan Banten dan Kerajaan Selebar menjadi
kurang baik.
Belanda
menerapkan sistem perbudakan di Kerajaan Selebar. Sistem perbudakan yang
diterapkan oleh Belanda di Kerajaaan Selebar menyebabkan adanya pemberontakan
dari Kerajaan Selebar dan berusaha mengusir Belanda dari Bengkulu.
Pada
saat yang sama, secara diam-diam Inggris membuat perjanjian dengan Kerajaan
Selebar dan menghasutnya untuk memutuskan hubungan kerja dan perdagangan dengan
Belanda. Upaya Inggris tersebut berhasil sehingga pedagang Belanda meninggalkan
Bengkulu dan kembali ke Batavia pada 1670.
Sebelumnya,
sejak 1685, British East India Company (EIC) telah mendirikan pusat perdagangan
lada Bencoolen/Coolen. Nama Bencoolen/Coolen berasal dari
bahasa Inggris “Cut Land” yang berarti tanah patah. Wilayah ini adalah wilayah
patahan gempa bumi yang paling aktif di dunia.
Ekspedisi
EIC saat itu dipimpin oleh Ralph Ord dan William Cowley untuk mencari pengganti
pusat perdagangan lada. Setelah Pelabuhan Banten jatuh ke tangan VOC, EIC
dilarang berdagang di sana. Traktat dengan Kerajaan Selebar pada tanggal 12
Juli 1685 mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung
perdagangan.
Berdiri
kokoh menghadap Samudra Hindia, Benteng Marlborough berada di sebuah bukit
kecil di kawasan Pantai Tapak Paderi, Kelurahan Malabro, Kecamatan Teluk
Segara, Bengkulu, Kamis (25/7/2019). Benteng dibangun pada masa pemerintahan
empat deputi gubernur, yakni tahun 1712 hingga tahun 1718. Mulai dari Joseph
Collet pada tahun 1712–1714 hingga Thomas Cooke pada 1718. Benteng peninggalan
Inggris itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari bagaimana upaya pencarian
hasil bumi berujung pada kolonisasi di pesisir barat Sumatera. Bangunan ini
berada di atas lahan seluas 44.100 meter persegi dengan panjang 240,5 meter dan
lebar 170,5 meter. Bangunan cagar budaya yang dikelola oleh Badan Pelestarian
Cagar Budaya (BPCB) Jambi ini selalu ramai dikunjungi wisatawan.
Untuk
mengamankan kepentingan politik dan dagang rempah-rempah, Inggris kemudian
membangun dua buah benteng pertahanan. Pertama, Benteng York yang didirikan
tahun 1685 di sekitar muara Sungai Serut. Kedua, Benteng Marlborough yang
dibangun pada tahun 1712 hingga 1718 dengan gudang hingga senjata pertahanan.
Satu bangunan lain juga terdapat di seberang Benteng Marlborough, yaitu monumen
Thomas Parr atau oleh warga lokal disebut Tugu Bulek.
Perusahaan
EIC ini lama kelamaan menyadari tempat itu tidak menguntungkan karena tidak
bisa menghasilkan lada dalam jumlah mencukupi.
Pendudukan
Inggris di Bengkulu berakhir sejak adanya Perjanjian London (Treaty of London)
yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1824 dan diserahkan pada tanggal 6
April 1825. Berdasar traktat tersebut, Bengkulu diserahkan oleh kolonial
Inggris kepada Belanda. Sebagai gantinya, Inggris mendapat wilayah jajahan
baru, yakni kawasan Semenanjung Malaka, antara lain Singapura sekarang.
Sejak
menjadi bagian dari Hindia Belanda, kekayaan Bengkulu dieksplorasi sampai ke
pelosok. Belanda kemudian menemukan tambang tak terawat yang berisi kekayaan
logam mulia berupa emas yang sekarang dikenal sebagai Lebong Tandai.
Penemuan
deposit emas di daerah Rejang Lebong pada paruh kedua abad ke-19 tersebut menjadikan
tempat itu sebagai pusat penambangan emas hingga abad ke-20.
Pada
tahun 1930-an, Bengkulu menjadi tempat pembuangan sejumlah aktivis pendukung
kemerdekaan termasuk Soekarno yang kelak menjadi presiden pertama Republik
Indonesia. Di Bengkulu, Soekarno berkenalan dengan Fatmawati yang kelak menjadi
istrinya.
Pada
masa penjajahan Belanda, rakyat Bengkulu pernah melakukan perlawanan yang
mengakibatkan Asisten Residen Knoerle terbunuh pada 1832. Perlawanan itu muncul
lantaran Knoerle melakukan tanam paksa lada dan kopi, dan merusak sendi-sendi
pemerintahan rakyat dan hukum adat di Bengkulu.
Setelah
perang pasifik, pada tanggal 24 Februari 1942, Jepang yang dipimpin Kolonel
Kangki menduduki Kota Bengkulu. Benteng Marlborough diambil alih oleh Jepang
dan dijadikan markas tentara Jepang.
Semasa
pemerintahan Jepang di Bengkulu, terjadi banyak perubahan di berbagai bidang.
Salah satunya di bidang pemerintahan. Istilah-istilah pemerintahan diganti
dengan nama Jepang. Keresidenan diganti menjadi Syu, dan Residen diganti
menjadi Syucokan.
Afdeeling (kabupaten)
ditukar dengan bun-syu dan bupatinya disebut bun-syu-co. Onderafdeeling ditukar
dengan gun, dan kepalanya disebut gun co. Daerah kecamatan
disebut Son dan camatnya bergelar Son-tya.
Semasa
penjajahan Jepang, rakyat Bengkulu ditindas dan menjadi tenaga romusha untuk
mendukung kepentingan Jepang memenangkan peperangan Asia Timur Raya.
Setelah
bom atom dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki pada bulan
Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu dan berakhirlah masa penjajahan
Jepang.
Setelah
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Bengkulu menjadi keresidenan dalam
Provinsi Sumatera Selatan. Baru sejak tanggal 18 November 1968, keresidenan
tersebut ditingkatkan statusnya menjadi provinsi berdasarkan UU Nomor 9 tahun
1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu. Wilayahnya mencakup bekas
Keresidenan Bengkulu.
Provinsi
Bengkulu terletak di pantai barat Pulau Sumatera pada garis lintang
2°16´–3°31’ LS dan garis bujur 101°1´–103°41’ BT.
Provinsi
Bengkulu berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat di sebelah utara, Samudera
Indonesia dan Provinsi Lampung di sebelah selatan Samudera Indonesia di sebelah
barat dan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan di sebelah timur.
Posisi
geografisnya, yang terkoneksi dengan empat provinsi lain di Pulau Sumatra dan
menghadap ke Samudra Hindia tersebut dinilai strategis menjadi jalur logistik
alternatif.
Dengan
luas wilayah 19.919,33 kilometer persegi, wilayah Provinsi Bengkulu memanjang
dari perbatasan Provinsi Sumatera Barat sampai ke perbatasan Provinsi
Lampung dan jaraknya lebih kurang 567 kilometer.
Berdasarkan
luas wilayahnya, Kabupaten Bengkulu Utara merupakan kabupaten terluas di
Provinsi Bengkulu. Luasnya mencapai 4.392,96 kilometer persegi atau 21,93
persen dari total wilayah provinsi ini. Sedangkan, Kota Bengkulu memiliki
wilayah terkecil dan menjadi satu-satunya kota administratif di Provinsi
Bengkulu.
Bagian
timur daerah ini berbukit-bukit dengan dataran tinggi yang subur, sedangkan
pada bagian barat merupakan dataran rendah yang relatif sempit, memanjang dari
utara ke selatan diselingi daerah yang bergelombang.
Provinsi
ini memiliki beberapa pulau kecil baik yang berpenghuni seperti Pulau Enggano,
serta pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni seperti Pulau Dua, Pulau Merbau,
Pulau Bangkai, Pulau Satu, Pulau Mega, dan Pulau Tikus.
Provinsi
ini juga terletak di zona tabrakan aktif dua lempeng tektonik, yaitu Lempeng
Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Mengacu pada kondisi tersebut, provinsi ini
rawan gempa bencana, gelombang pasang, banjir, dan tanah longsor.
Pantai
Humo merupakan salah satu pantai pasir putih yang paling indah di Pulau
Enggano. Keindahan itu dilengkapi dengan hutan yang masih dihuni oleh burung
beraneka jenis.
Pemerintahan
Sejak
resmi menjadi daerah otonom pada tahun 1968, Provinsi Bengkulu telah dipimpin
oleh 12 gubernur dan pejabat gubernur. Gubernur pertama Bengkulu adalah Ali
Amin (1968–1974).
Selanjutnya
adalah Abdul Chalik (1974–1979), Suprapto (1979–1989), HA Razie Yahya
(1989–1994), Adjis Achmad (1994–1999), A Djalal Bachtiar (1999), Hasan Zen
(1999–2004), Seman Widjojo (2004–2005), Agusrin M Najamuddin (29 Nopember
2005–2011), H Junaidi Hamsyah (2012–2015), dan H Ridwan Mukti.
Saat
ini, Gubernur Bengkulu dijabat oleh Rohidin Mersyah, menggantikan Ridwan Mukti
yang terjerat kasus hukum pada tahun 2018. Adapun sejak Oktober 2019, Saat ini
dipimpin oleh Dr. H Rohidin Mersyah 2021-2026
Provinsi
Bengkulu terdiri dari 9 kabupaten dan 1 kota, 128 kecamatan dan 1.514
desa/kelurahan. Kesepuluh kabupaten/kota itu adalah Kota Bengkulu, Kabupaten
Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Bengkulu Utara,
Kabupaten Kaur, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Lebong, Kabupaten Rejang Lebong,
Kabupaten Muko Muko, dan Kabupaten Seluma.
https://kompaspedia.kompas.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar