A. Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia
“Hukum Islam” merupakan terminologi khas Indonesia, jikalau kita
terjemahkan langsung kedalam bahasa Arab maka akan diterjemahkan menjadi
al-hukm al Islam, suatu terminologi yang tidak dikenal dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah. Maka padanan yang tepat dari istilah “Hukum Islam” adalah
al-fiqh al-Islamy atau al-Syari’ah al-Islamy, sedangkan dalam wacana
ahli hukum barat digunakan istilah Islamic law .
Sedangkan terminologi ”Hukum Perdata Islam”
adalah sebagian dari hukum Islam yang telah berlaku secara yuridis
formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia, yang
isinya hanya sebagian dari lingkup mu’amalah, bagian hukum Islam ini
menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan
perundang-undangan. Contohnya adalah hukum perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, zakat dan perwakafan serta ekonomi syari’ah.
(Pasal 49 UU No.7/`89 jo UU no 3/`06)
B. Sejarah Belakunya Hukum Perdata Islam di Indonesia
1. Hukum Islam Pada Masa Kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara
Pada masa ini hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk
yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah
mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan)
Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di
kerajaan-kerajaan Islam Nusantar. Tidaklah berlebihan jika dikatakan
pada masa jauh sebelum penjajahan Belanda, hukum islam menjadi hukum
yang positif di Nusantara.
2. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda
dapat diklasifikasi kedalam dua bentuk, Pertama, adanya toleransi pihak
Belanda melalui VOC yang memberikan ruang agak luas bagi perkembangan
hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam
dengan menghadapkan pada hukum adat.
Pada fase kedua ini Belanda ingin menerapkan politik hukum yang sadar
terhadap Indonesia, yaitu Belanda ingin menata kehidupan hukum di
Indonesia dengan hukum Belanda, dengan tahap-tahap kebijakkan
strategiknya yaitu:
a. Receptie in Complexu (Salomon Keyzer & Christian van Den Berg
[1845-1927]), teori ini menyatakan hukum menyangkut agama seseorang.
Jika orang itu memeluk Islam maka hukum Islamlah yang berlaku baginya,
namum hukum Islam yang berlaku tetaplah hanya dalam masalah hukum
keluarga, perkawinan dan warisan.
b.Teori Receptie ( Snouck Hurgronje [1857-1936] disistemisasi oleh C.
Van Vollenhoven dan Ter Harr Bzn), teori ini menyatakan bahwa hukum
Islam baru diterima memiliki kekuatan hukum jika benar-benar diterima
oleh hukum adat, implikasi dari teori ini mengakibatkan perkembangan dan
pertumbuhan hukum Islam menjadi lambat dibandingkan institusi lainnya.
di Nusantara.
3. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Jepang
Menurut Daniel S. Lev Jepang memilih untuk tidak mengubah atau
mempertahankan beberapa peraturan yang ada. Adat istiadat lokal dan
praktik keagamaan tidak dicampuri oleh Jepang untuk mencegah resistensi,
perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan.
Jepang hanya berusaha menghapus simbol-simbol pemerintahan Belanda di
Indonesia, dan pengaruh kebijakan pemerintahan Jepang terhadap
perkembangan hukum di Indonesia tidak begiti signifikan.
4. Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan
Salah satu makna terbesar kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah
terbebas dari pengaruh hukum Belanda, menurut Prof. Hazairin, setelah
kemerdekaan, walaupun aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa hukum
yang lama masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945,
seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasar teori receptie
(Hazairin menyebutnya sebagai teori iblis) tidak berlaku lagi karena
jiwanya bertentangan dengan UUD 1945.
Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan
sunnah Rosul. Disamping Hazairin, Sayuti Thalib juga mencetuskan teori
Receptie a Contrario, yang menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku
kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
5. Hukum Islam Pada Masa Pemerintahan Orde Baru
a. Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Politik hukum memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh
pemerintah orde baru, dibuktikan oleh UU ini, pada pasal 2 diundangkan
”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan itu” dan pada pasal 63 dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah Pengadilan Agama (PA)
bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri (PN) bagi pemeluk agama
lainnya.
b. Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Dengan disahkanya UU PA tersebut, maka terjadi perubahan penting dan mendasar dalam lingkungan PA. Diantaranya:
1). PA telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya benar-benar
telah sejajar dan sederajat dengan peradilan umum, peradilan militer,
dan peradilan tata usaha negara.
2). Nama, susunan, wewenang, kekuasaan dan hukum acaranya telah sama
dan seragam diseluruh Indonesia. Dengan univikasi hukum acara PA ini
maka memudahkan terjadinya ketertiban dan kepastian hukum dalam
lingkungan PA.
c. Kompilasi Hukum Islam Inpres no. 1 tahun 1991 (KHI)
Pada Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehigga
terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Makamah Agung dan
Departemen Agama.SKB itu
membentuk proyek kompilasi hukum islam dengan tujuan merancang tiga buku
hukum, masing-masing tentang Hukum perkawinan (Buku I), tentang Hukum
Kewarisan (Buku II), dan tentang Hukum Perwakafan (BUKU III)
Bulan Februari 1988 ketiga buku itu dilokakaryakan dan mendapat
dukungan luas sebagai inovasi dari para ulama di seluruh Indonesia. Pada
tanggal 10 Juni 1991 Suharto menandatangani Intruksi Presiden No. 1
tahun 1991 sebagai dasar hukum berlakunya KHI tersebut.
6. Hukum Islam Pada Masa Reformasi
Diantara produk hukum yang positif di era reformasi sementara ini
yang sangat jelas bermuatan hukum Islam (Hukum Perdata Islam) ini antara
lain: a. Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
b. Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
c. Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan
terhadapUndang-undang No. 7 tahun 1999 tentang Peradilan Agama (Ekonomi
Syari`ah)
Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 49 ayat (1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus,dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan terhadap Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 49 ayat (1) berubah menjadi sebagaiberikut:
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari’ah.
Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah
termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri
dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai halhal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
Huruf a Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur
dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku
yang dilakukan menurut syari’ah,antara lain: 1. izin beristri lebih dari
seorang; 2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia
21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga
dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; 3. dispensasi kawin; 4.
pencegahan perkawinan; 5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat
Nikah; 6. pembatalan perkawinan; 7. gugatan kelalaian atas kewajiban
suami dan istri; 8. perceraian karena talak; 9. gugatan perceraian; 10.
penyelesaian harta bersama; 11.penguasaan anak-anak; 12. ibu dapat
memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya; 13. penentuan kewajiban
memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan
suatu kewajiban bagi bekas istri; 14. putusan tentang sah tidaknya
seorang anak; 15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;16.
pencabutan kekuasaan wali; 17. penunjukan orang lain sebagai wali oleh
pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; 18. penunjukan
seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan
belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya; 19. pembebanan kewajiban
ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam; 21. putusan tentang hal penolakan pemberian
keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; 22. pernyataan tentang
sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Huruf b Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan
bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas penentuan bagian
masing-masing ahli waris.
Huruf c Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang
memberikan suatu bendaatau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan
hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Huruf d Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada
orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
Huruf e Yang dimaksud dengan “wakaf” adalah perbuatan seseorang atau
sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Huruf g Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik
berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau
menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan
karena Allah Subhanahu Wata’ala.
Huruf f Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib
disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang
muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya
Huruf h Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara
spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu
dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.
Huruf I Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain
meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah.
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah;dan
k. bisnis syari’ah.
Arti Definisi Pengertian Perkawinan/Pernikahan Dan Dasar Tujuan Nikah/Kawin Manusia
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yaitu akad yang sangat
kuat atau misaqan galizan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan
masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang
berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri.
Perkawinan bertujuan .(UU NO. 1/1974) untuk membentuk keluarga yang
bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan
dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu
yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang. Sedangkan (KHI
Inpres No 1/1991) tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan rumah
tangga yang sakinah ( mawadah warahmah)
Tujuan Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 30-An Ruum : 21)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu
pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.”
Dasar Pernikahan Menurut Agama Islam :
Dasar Hukum Agama Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 24-An Nuur : 32)
“Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan mereka
yang berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”
Prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut Undang-undang
Perkawinan, disebutkan didalam penjelasan umumnya sebagai berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai
kesejahteraan spiritual dan material.
b. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu
tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan
yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari
seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
d. Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu
harus batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19
tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip
untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian
harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 P P No. 9 tahun 1975) serta
harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
PEMINANGAN
KHI Pasal 11 Peminangan dilakukan secara langsung oleh laki-laki yang hendak menikah atau wakilnya yang dipercaya.
KHI Pasal 12 Peminangan dilakukan terhadap seorang perempuan yang
belum pernah menikah atau perempuan yang sudah pernah menikah yang
iddahnya telah habis
LARANGAN PEMINANGAN
KHI Pasal 12 ayat (2): Peminangan dilarang terhadap:
a. Perempuan yang masih berada dalam iddah, kecuali yang ditinggal mati suaminya dapat dipinang secara sendirian (ta’ridl);
b. Perempuan yang sedang dipinang laki‐laki lain selama pinangan
tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak perempuan.
PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN
A.PENCEGAHAN
1. Menurut UU No. 1/1974
Pasal 13
Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu
dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga
mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon
mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut
nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain,
yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam
ayat (1) pasal ini.
Pasal 15
Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan
salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi
ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 16
(1)Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah
hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga
kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan
pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai
pencatat perkawinan.
Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau
dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang
mencegah.
Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau
membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran
dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9
Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan
menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang
ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencaatat perkawinan
akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakkan tersebut
disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat
perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan
putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakkan tersebut di
atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan
akanmemberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakkan tersebut
ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang
mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin
dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pasal 60
(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu
perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan
(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon
istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang –
undangan.
Pasal 61
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan,
kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu ad dien.
“Sekufu” = Sederajat (dalam hal harta , kedudukan , pendidikan dll)
Pasal 62
(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis
keturunan lurus keatas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu
dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan.
(2) Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai
kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan
yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal 63
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau istri yang
masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri atau
calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.
Pasal 64
Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban
mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak dipenuhi.
Pasal 65
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam
daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan
juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai
Pasal 66
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal 67
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan
pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau dengan putusan
Pengadilan Agama.
Pasal 68
Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau
membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran
dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8 , pasal 9 , pasal 10 atau pasal
12 Undang-undang no 1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan
perkawinan.
Pasal 69
(1) Apabila Pegawai Pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974
maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin
melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan
surat keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai alasan-alasan
penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat
Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan,
dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.
(4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat
dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan
tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang
mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin
dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
Prosedur Pencegahan
a. Pemberitahuan kepada PPN setempat.
b. Mengajukan permohonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat.
c. PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai.
B. Pembatalan Perkawinan
1. Menurut UU No1 Tahun 1974
Definisi Pembatalan Perkawinan
Pembatalan berasal dari kata batal, yaitu menganggap tidak sah,
menganggap tidak pernah ada (Kamus Umum Bahasa Indonesia; Badudu –
Zain). Jadi pembatalan perkawinan berarti menganggap perkawinan yang
telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak
pernah ada.
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Dalam Penjelasan Pasal 22 disebutkan bahwa pengertian ”dapat” pada
pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut
ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dengan
demikian, jenis perkawinan di atas dapat bermakna batal demi hukum dan
bisa dibatalkan.
Lebih lanjut menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun 1975
ditentukan bahwa. Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian
ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan
perundang-undanagan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat
membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pembatalan Perkawinan (pasal 23 UU No. 1 tahun 1974)
Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau
istri; Suami atau istri; Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan
belum diputuskan;Pejabat pengadilan.
2. Menurut KHI
Pasal 73
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:
a.Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri
b.Suami atau isteri
c.Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang
d.Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam
rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67
Alasan Pembatalan Perkawinan
Perkawinan dapat dibatalkan, bila:
a. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (pasal 27 UU No. 1/1974).
b.Salah satu pihak memalsukan identitas dirinya (pasal 27 UU No.
1/1974). Identitas palsu misalnya tentang status, usia atau agama.
c.Suami/istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan
perkawinan tanpa seijin dan sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU No.
01 tahun 1974).
Perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (pasal 22 UU Perkawinan)
Sementara menurut Pasal 71 KHI, perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b.Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang);
c.Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain;
d.Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974;
e.Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f.Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
●
Pengajuan Pembatalan Perkawinan
Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan ke Pengadilan
(Pengadilan Agama bagi Muslim dan Pengadilan Negeri bagi Non-Muslim) di
dalam daerah hukum di mana perkawinan telah dilangsungkan atau di tempat
tinggal pasangan (suami-istri). Atau bisa juga di tempat tinggal salah
satu dari pasangan baru tersebut.
Batas Waktu Pengajuan
Ada batas waktu pengajuan pembatalan perkawinan. Untuk perkawinan
anda sendiri (misalnya karena suami anda memalsukan identitasnya atau
karena perkawinan anda terjadi karena adanya ancaman atau paksaan),
pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah perkawinan
terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan anda masih hidup bersama
sebagai suami istri, maka hak anda untuk mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan dianggap gugur (pasal 27 UU No. 1 tahun 1974).
Pemberlakuan Pembatalan Perkawinan
Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan. Keputusan Pembatalan Perkawinan tidak berlaku surut terhadap
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Artinya, anak-anak
dari perkawinan yang dibatalkan, tetap merupakan anak yang sah dari
suami anda. Dan berhak atas pemeliharaan dan pembiayaan serta waris
(pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974).
Akibat Hukum
a. Pembatalan perkawinan berarti adanya putusan pengadilan yang
menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan adalah tidak sah. Akibat
hukum dari pembatalan tersebut adalah bahwa perkawinan tersebut menjadi
putus dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke
status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan
para pihak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan kerabat
dan bekas suami maupun isteri.
b. Batalnya perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama
mempunyai kekuatan hukum telap, tetapi berlaku surut sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
c. Keputusan pembatalan tidak berlaku surut terhadap :
1)Perkawinan yang batal karena suami atau isteri murtad;
2)Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
3)Pihak ketiga yang mempunyai hak dan beritikad baik.;
4)Batalnya perkawinan tidak memutus hubungan hukum anak dengan
orang tua.
d. Perbedaan dengan perceraian dalam hal akibat hukum :
1) Keduanya menjadi penyebab putusnya perkawinan, tetapi dalam
perceraian bekas suami atau isteri tetap memiliki hubungan hukum dengan
mertuanya dan seterusnya dalam garis lurus ke atas, karena hubungan
hukum antara mertua dengan menantu bersifat selamanya.
2) Terhadap harta bersama diserahkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan untuk bermusyawarah mengenai pembagiannya karena dalam
praktik tidak pernah diajukan ke persidangan dan di dalam
perundang-undangan hal tersebut tidak diatur.
Rukun dan Syarat Perkawinan
A.Rukun :
1. Calon mempelai pria dan wanita.
2. Wali dari calon mempelai wanita.
3. Dua orang saksi (laki-laki).
4. Ijab Yaitu ucapan penyerahan calon mempelai wanita dari walinya
atau wakilnya kepada calon mempelai pria untuk dinikahi.
atau wakilnya kepada calon mempelai pria untuk dinikahi.
5. Qabul yaitu ucapan penerimaan pernikahan dari calon mempela pria/walinya.
B. Syarat :
1.Calon mempelai pria;
a. beragama islam
b. laki laki
c. jelas orangnya
d. cakap bertindak hukum untuk hidup berumah tangga
e. tidak terdapat halangan perkawinan
b. laki laki
c. jelas orangnya
d. cakap bertindak hukum untuk hidup berumah tangga
e. tidak terdapat halangan perkawinan
2. Calon mempelai wanita;
a. beragama islam
b. perempuan
c. jelas orangnya
d. dapat dimintai persetujuan
e. tidak terdapat halangan perkawinan
3.Wali dari calon mempelai wanita;
a. laki-laki
b. beragama islam
c. mempunyai hak perwaliannya
d. tidak terdapat halangan untuk menjadi wali
4.Dua orang saksi (laki-laki);
a. dua orang laki laki
b. beragama islam
c. sudah dewasa
d. hadir dalam upacara akad perkawinan
e. dapat mengeti maksud akad perkawinan
5. Ijab dan Qabul ;
a. adanya ijab (penyerahan) dari wali
b. adanya qabul(penerimaan) dari calon suami
c. ijab harus menggunakan kata2 nikah / yang searti dengannya
d. antar ijab dan qabul harus jelas dan berkaitan
e. antara ijab dan qabul masih dalam satu majlis
f. orang yang berijab qabul tidak sedang ihram
b. adanya qabul(penerimaan) dari calon suami
c. ijab harus menggunakan kata2 nikah / yang searti dengannya
d. antar ijab dan qabul harus jelas dan berkaitan
e. antara ijab dan qabul masih dalam satu majlis
f. orang yang berijab qabul tidak sedang ihram
Perkawinan antar Pemeluk Agama
Dalam teks fiqh klasik , secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :
1. Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
2. Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
3. Suami ahli kitab, istri Islam = haram
4. Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1
menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan
yang melakukan pernikahan.
Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan
hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan
tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan
tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya
masing-masing.
Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yaitu akad yang sangat kuat atau
misaqan galizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk
agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan
bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44
dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang
menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam
tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama
jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama
Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama
Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar
agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan
tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam
peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi
perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No.
1/1974,dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat
diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang
tidakdiatur dalam UU No. 1/1974.
Perkawinan antar Pemeluk Agama berbeda dengan Perkawinan Campuran
Dalam pasal 57 UU No. 1/1974 perkawinan campuran adalah antara dua
orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena beda
warga negara dan salah satu warga negaranya adalah warga negara
Indonesia.
Dan syarat-syarat perkawinan campuran pada pasal pasal 59 ayat 2UU
No. 1/1974, dari pasal ini menunjukan prinsip Lex loci actus yaitu
menunjuk dimana perbuatan hukum tersebut dilangsungkan. Hal ini berarti
perkawinan campuran di Indonesia dilakukan menurut hukum perkawinan
Indonesia.
Pada pasal 56 UU No. 1/1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik
yang dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri atau
salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain
adalah warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang
berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga
negara Indonesia tidak melanggar UU ini.
Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami
isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus
didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Pencatatan perkawinan
1. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2
ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang
melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor
Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha,
Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Bagi ummat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan
perkawinan yang belum tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan Itsbat
Nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2 dan 3 dinyatakan,
bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah,
dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
2. Kegunaan Pencatatan Perkwinan
Pencatatan perkawinan amatlah penting, terutama untuk mendapatkan
hak-hak, seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak . Pada dasarnya,
fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar
seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya
benar-benar telahmelakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah
bukti yang dianggap sah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah)
adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan
dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah
memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti
(bayyinah) di hadapan majelis peradilan,ketika ada sengketa yang
berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat
pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain
sebagainya.
Akte Perkawinan
Akte Perkawinan, adalah akte yang diperoleh sesaat setelah perkawian
berlsngsung menurut huku agamanya masing-masing yang disiapkan oleh PPN
yang menghadiri perkawinan (dibuat oleh Pegawa Pencatat Nikah), dan
mempunyai kekuatan hukum, dan menjadi bukti perkawinan sah baik bagi
suami isteri maupun sebagai orang tua/kepala rumah tangga/kepala
keluarga dsb.
Perjanjian Perkawinan
1.Pengertian Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan dalam pengertian UU No. 1/1974 dan Kompilasi
Hukum Islam merupakan suatu kesepakatan bersama bagi calon suami dan
calon istri yang harus dipenuhi apabila mereka sudah menikah, tetapi
jika salah satu tidak memenuhi ataupun melanggar perjanjian perkawinan
tersebut maka salah satunya bisa menuntut meminta untuk membatalkan
perkawinannya begitu juga sebaliknya, sebagai sanksi atas tidak
dipenuhinya perjanjian perkawinan tersebut (Pasal 51 KHI).
Perjanjian ini juga bisa disebut sebagai perjanjian pra-nikah karena
perjanjian tersebut dilaksanakan secara tertulis pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan dan harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah
(Pasal 47 KHI dan pasal 29 ayat 1 UU No. 1/1974).
Dalam perjanjian perkawinan tidak dapat di sahkan apabila melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan (Pasal 29 ayat 2 UU No. 1/1974).
Mengenai perjanjian taklik talak, perjanjian taklik talak bukan salah
satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali
taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali (pasal 46
ayat 3 KHI).
2. Bentuk Perjanjian Perkawinan
Seorang calon suami/istri yang ingin mengajukan perjanjian perkawinan
bisa bermacam-macam bentuknya, baik itu mengenai taklik talak
(taklik talak yaitu perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria
setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak
yang di gantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi
dimasa yang akan datang), harta kekayaan/harta bersama, poligami ataupun
perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (pasal 45
KHI).
3. Mulai Berlakunya Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan di
hadapan pegawai pencatat nikah (Pasak 29 ayat 3 UU No. 1/1974 dan Pasal
50 ayat 1 KHI). Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut
tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian
untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga (pasal 29 ayat
4 UU No. 1/1974).
4.Harta Kekayaan dalam Perkawinan yang Diperjanjikan
Pada dasarnya, tidak ada percampuran antara harta suami dan harta
istri karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan
dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak
suami dan dikuasai penuh olehnya (Pasal 86 ayat 1 dan 2 KHI). Begitu
juga dengan harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain
dalam perjanjian perkawinan (Pasal 87 ayat 1 KHI). Apabila dibuat
perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta
syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban
suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (Pasal 48 ayat 1 KHI).
5. Batalnya/terhapusnya suatu perjanjian perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 dan KHI, batalnya/terhapusnya suatu perjanjian perkawinan yaitu karena:
a.Suami/istri melanggar apa yang sudah diperjanjikan
b.Suami/istri tidak memenuhi salah satu syarat dalam perjanjian perkawinan
Alasan Poligami dan Prosedur Poligami
1.Alasan Poligami
Dalam Bab IX KHI Pasal 57 dijelaskan:
a.Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b.Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pada dasarnya pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan sebagai mana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang
Perkawian
2. Syarat Poligami
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami dalam UU. No. 1/1974 Pasal 5 ayat (1)yaitu:
a. Adanya persetujuan dari isteri-isteri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c.Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Dalam Bab IX KHI Pasal 55 juga dijelaskan:
1)Beristeri lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
2)Syarat utama beristeri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3)Apabila syarat utama yang disebutpada ayat 2) tidak mungkin terpenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari satu.
3. Prosedur Poligami
Dalam Bab IX KHI Pasal 56 dijelaskan:
1)Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2)Pengajuan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII PP. No. 9 Tahun 1975.
3)Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau ke
empat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak memiliki kekutan hukum.
Dalam PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 40 dinyatakan, apabila seorang suami
bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka, ia wajib mengajukan
permohonan secara tertulis kepada pengadil anak.
Hak-hak dan kewajiban suami-isteri:
Suami istri menurut UU.No.1/1974
tentang Perkawinan yang tercantum pada pasal 30 dan 31. Dalam pasal 30
dinyatakan bahwa, suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan RT yang menjadi dasar dari susunan masyarakat. Kemudian dalam
pasal 31 dinyatakan,bahwa:
1)Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dg hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2)Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
3)Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Mengenai kewajiban suami istri selanjutnya dijelaskan dalam pasal 33:
Suami istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34 :
1)Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuan.
2)Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3)Jika sumai istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Mengenai rumah tinggal sebagai tempat kediaman suami istri dijelaskan dalam pasal 32 sebagai berikut:
1)Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2)Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat1 pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar