Jumat, 12 Juni 2015

Kerugian Negara Selama Orde Baru

Setelah Lebih dari Dua dasawarsa perkara kasus dugaan korupsi mantan penguasa orde baru, Soeharto yang nilainya mencapai Rp 1,4 trilyun dan 416 juta dolar Amerika itu, belum juga terselesaikan. Padahal empat presiden silih berganti. Bahkan dapat dikatakan, kasus Soeharto merupakan simbol paling kuat dari diskriminasi hukum. Sebab kasusnya dibiarkan mengambang tanpa ada penuntasan sejak 10 tahun terakhir ini. Apalagi sejumlah politisi ikut memperkeruh masalah ini.
Padahal berkas perkara setebal 3.500 halaman yang berisi dugaan “dosa-dosa” korupsi Soeharto, sudah sejak tahun 2000 ada di tangan jaksa dan hakim sejak tahun 2000. Berkas itu terdiri dari tiga bundel. Bundel pertama setebal 2.500 halaman berisi berkas perkara tindak pidana korupsi. Bundel kedua setebal 800 halaman berisi daftar adanya benda sitaan dan barang bukti. Dan bundel ketiga, yang tebalnya 200 halaman berisi Ketetapan MPR dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga yayasan-yayasan.
Sedikit merunut kebelakang, Upaya pengusutan terhadap kasus pidana dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto di awali pada saat pemerintahan Presiden Habibie. Tim dari Kejaksaan Agung yang waktu itu dipimpin Andi M Ghalib menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto, dari temuan tersebut didasarkan atas anggaran dasar dari lembaga-lembaga tersebut. Kejaksaan menduga, mantan Presiden Soeharto telah melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun. Tapi 11 Oktober 1999, pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti. Kejagung kemudian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto. Jaksa Agung Andi M Ghalib pada saat itu menyatakan, keputusan presiden yang diterbitkan mantan presiden Soeharto, sudah sah secara hukum. Kesalahan terletak pada pelaksanaannya.
Padahal pada 21 November 1998, Presiden Habibie sempat mengusulkan pembentukan komisi independen mengusut harta Soeharto. Tapi, usulan ini kandas. Akan tetapi Presiden Habibie tidak menyerah tepat 2 Desember 1998 Presiden Habibie mengeluarkan Inpres No. 30/1998 tentang pengusutan kekayaan Soeharto.
Pada saat pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, pemerintah membuka kembali pemeriksaan kekayaan Soeharto. Melalui Jaksa Agung yang baru, Marzuki Darusman mencabut SP3 terhadap Soeharto, walaupun sempat ada perlawanan dari kuasa hukum Soeharto, namun keputusan Jaksa Agung berhasil dikuatkan dengan ditolaknya gugatan praperadilan Soeharto atas pencabutan SP3 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Soeharto akhirnya dinyatakan sebagai tersangka atas penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang dipimpinnya, pada 31 Maret 2000. Walaupun baru pada 3 Agustus 2000, Soeharto secara resmi ditetapkan sebagai tersangka. Namun sejak ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan kota maupun rumah, Soeharto tidak pernah menunjukan batang hidungnya ke aparat kejaksaan maupun di persidangan. Alasannya, karena yang bersangkutan sakit.
Akan tetapi, harapan dari masyarakat untuk dapat menuntaskan kasus dugaan korupsi kepada Soeharto kembali kandas. Puncaknya 28 September 2000, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Lalu Mariyun menetapkan penuntutan perkara pidana Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Alasannya, tim dokter penguji yang diketuai Prof Dr dr M Djakaria SpR menyimpulkan bahwa Soeharto mengalami sakit permanen. Sehingga ditinjau dari fisik maupun mentalnya tidak layak untuk disidangkan. Selain itu, Majelis juga membebaskan Soeharto dari tahanan kota.
Karena sudah berlarut, Di masa Jaksa Agung Abdulrahman Saleh yang diangkat SBY sejak 2004 ini, kemudian bersikap. Akhirnya Arman panggilan akrab Abdulrahman Saleh, mengambil langkah Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan (SKP3). Alasannya, karena kasus ini selalu dikembalikan oleh pengadilan. Menurut pengakuan Arman, saat masuk ke Kejagung kasus Soeharto memang sudah ruwet. Karena setelah mengecek file-file kasus Soeharto sudah disidangkan pada tahun 2000. Tapi ternyata kasus ini selalu dikembalikan. Dengan alasan Soeharto sakit. Memang didalam KUHAP, SKP3 bisa dibuka lagi, kalau orangnya sembuh. Sekarang ini Soeharto justru telah meninggal, jadi bagaimana negara dapat memperoleh kekayaan Negara yang telah terampas.
Celah itu saat ini sedang di upayakan oleh pemerintah, sekalipun menurut mantan Jaksa Agung Abdurahman, masalah pidana sudah putus alias Soeharto tidak bisa disidangkan, tapi tetap saja urusan perdata menyangkut sejumlah yayasan tetap saja terus bergulir. Sebab dalam masalah perdata, kasus ini bisa diwakilkan oleh ahli warisnya, yakni anak-anak Soeharto.
Apabila aparat penegak hukum Indonesia, mempunyai keinginan serius untuk mencari jejak pundi-pundi kekayaan keluarga mantan Presiden HM Soeharto, saat ini merupakan saat yang tepat untuk menguaknya. Sebelum meninggal, sangat sulit untuk ditaksir secara pasti berapa nilai total kekayaan keluarga Soeharto. Namun hal tersebut sepertinya, akan terkuak sebentar lagi. Masyarakat mungkin akan terkejut dengan kabar di balik gonjang-ganjing kasus perceraian Bambang Trihatmodjo dan Halimah Agustina Kamil. Karena disinyalir, harta gono-gini yang harus dipilah anggota keluarga Cendana itu mencapai Rp 14 triliun.
Jumlah spektakuler itu belum termasuk beberapa aset lain berupa uang, saham, properti, dan perusahaan milik putra-putri keluarga Cendana lainnya seperti Mbak Tutut, Sigit, Titiek, Tommy, dan Mamiek Soeharto. Memang belum ada taksiran resmi mengenai nilai yang pasti mengenai harta Keluarga Soeharto tersebut. Namun pengacara Halimah, Lelyana Santosa, pernah mengungkapkan kepada media, bahwa data tersbut valid, bahkan Lelyana juga mengungkapkan bahwa semua itu merupakan asset murni dan sudah dikurangi dengan utang keluarga Bambang-Halimah.
“Paling tidak, dari keyakinan klien saya,” ujarnya, “Itu semua asset murni, sudah dikurangi dengan utang”.
Dulu, nilai kekayaan keluarga Cendana yang ditengarai berjumlah triliunan rupiah cuma dianggap gosip dan rumor. Kini, semua itu diyakini publik mendekati fakta. Bukan lagi sekadar isapan jempol. Kasus percerian Bambang-Halimah, dapat menjadi momentum untuk membuka tabir gelap, nilai harta keluarga Soeharto sesungguhnya. Melihat harta Bambang yang begitu “spektakuler”, membuat Kejaksaan Agung pun menyiapkan jurus-jurus jitu untuk menjadikan putra-putri mantan Presiden HM Soeharto sebagai “ahli waris” perkara perdata mendiang penguasa Orde Baru itu.
Lalu, siapakah yang mau jadi ahli waris perkara almarhum Pak Harto? Haruskah semua anaknya menanggung beban? Lantas bagaimana dengan para kroninya yang justru banyak menikmati limpahan kue ekonomi hasil KKN itu? Mampukah Jaksa Agung Hendarman Supandji menuntaskan kasus yang sudah hampir sepuluh tahun menggantung ini?
Sebelum meninggal, Soeharto digugat oleh negara melalui Jaksa Pengacara Negara (JPN) atas dugaan penyalahgunaan dana Yayasan Beasiswa Supersemar. JPN menilai Soeharto memerintahkan penggunaan dana yayasan tidak untuk keperluan pendidikan, tetapi untuk keperluan berbagai perusahaan. Atas hal tersebut, JPN menuntut pengembalian dana yang telah disalahgunakan senilai 420 juta dolar AS dan Rp185,92 miliar, ditambah ganti rugi imateriil Rp10 triliun.
Kejaksaan Agung sendiri melalui JPN, telah secara resmi mengajukan enam nama ahli waris mantan Presiden HM Soeharto (alm) dalam perkara gugatan perdata mantan Presiden Soeharto (tergugat I) dan Yayasan Supersemar (tergugat II) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada sidang 12 Februari 2008.
Dalam sidang tersebut, tim JPN mengajukan enam anak Soeharto sebagai ahli waris dalam gugatan perdata tersebut. Menurut Dachmer Munthe, kejaksaan membawa surat dari kelurahan setempat. Jaksa membacakan surat data keluarga almarhum Soeharto dan almarhum Tien Soeharto tertanggal 6 Februari yang ditandatangani Lurah Gondangdia, HM Herlambang. pejabat yang berwenang di wilayah di mana keluarga Soeharto bertempat tinggal
Dalam surat itu, tercatat nama enam anak Soeharto, yakni Siti Hardiyanti Rukmana, Sigit Hardjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Soeharto, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih. “Pengadilan memanggil ahli waris tergugat satu (mantan Presiden Soeharto) atau kuasa hukumnya,” kata Dachamer di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dachmer Munthe mengatakan, keenam orang tersebut diharapkan ikut menanggung kewajiban Soeharto dalam perkara perdata yang sedang berjalan. Dachmer menegaskan, keenam anak Soeharto dapat dibuktikan secara hukum bisa menjadi ahli waris Soeharto. Dachmer menyadari ada kemungkinan keenam orang tersebut menolak menjadi ahli waris. Penolakan menjadi ahli waris, katanya, harus disertai penolakan penerimaan harta waris. “Jangan menerima hak,” kata Dachmer menegaskan. Lebih lanjut Dachmer juga mengatakan, jika ahli waris tidak datang maka mereka bisa diwakili oleh kuasa hukumnya. “Tidak harus secara fisik datang,” ujarnya.
Setelah JPN mengajukan nama ahli waris untuk melanjutkan perkara, akhirnya majelis hakim yang diketuai oleh Wahjono memerintahkan kepada JPN untuk memberikan surat keterangan agar segera dapat dikirimkan surat panggilan kepada ahli waris, pada hari itu juga, hal tersebut, supaya dalam persidangan selanjutnya sudah bisa dihadirkan.
Pemanggilan dilakukan Pengadilan Negeri (PN) Jakpus karena ke-enam anak Soeharto berdomisili di Jakarta Pusat. Namun para ahli waris atau pengacara yang mewakilinya tetap menghadiri sidang di PN Jaksel.
Menanggapi hal itu, kuasa Yayasan Beasiswa Supersemar, Juan Felix Tampubolon, mengatakan belum ada pembicaraan dalam keluarga tentang siapa yang akan menjadi wakil dalam persidangan nanti dan jika ada penolakan anak-anak Soeharto sebagai ahli waris tidak dapat dicampuradukkan dengan penolakan harta waris.
Penolakan sebagai ahli waris berarti penolakan kewajiban dalam perkara perdata. Sedangkan harta waris Soeharto adalah ruang lingkup pribadi yang terpisah dari perkara yang sedang berjalan. “Itu tidak dapat disatukan,” katanya.
Felix mengatakan, kehadiran dirinya pada sidang tersebut dalam kapasitasnya mewakili Yayasan Supersemar karena kuasa yang dipegang dari Soeharto gugur seiring meninggalnya pemberi kuasa. “Sekarang saya mewakili Yayasan Supersemar karena kuasa dari tergugat I kan sudah gugur,” ujar Felix.
Felix juga tidak mempermasalahkan data yang diajukan oleh JPN tentang para ahli waris Soeharto yang ditandatangani oleh Lurah Gondangdia. “Kalau keterangan tentang ahli waris itu cukup dari kelurahan. Kalau terjadi pertikaian, baru harus penetapan pengadilan. Yang ditunjukkan di muka sidang itu hanya data tentang keluarga Pak Harto,” kata Felix.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah melayangkan surat pemanggilan kepada enam anak Soeharto, yang ditetapkan sebagai ahli waris mantan presiden itu, untuk menghadiri persidangan kasus perdata yang melibatkan almarhum ayah mereka pada 19 Februari lalu, surat panggilan untuk ahli waris Soeharto sudah dikirim hari Rabu 13 Februari 2008.
Surat pemanggilan tersebut, selanjutnya, didelegasikan ke pihak Juru Sita PN Jakarta Pusat. Hal itu karena lokasi tempat tinggal para ahli waris berada di luar wilayah Jaksel. Sehingga PN Jaksel mengutus kurir untuk menyampaikan surat pemanggilan itu ke Juru Sita PN Jakpus.
Mengenai hal teknis, Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Efran Basjuning berharap agar para ahli waris bersedia memenuhi panggilan tersebut. Sehari sebelum sidang dimulai, pihak PN Jaksel akan menerima perihal hasil berita pemanggilan tersebut dari PN Pusat. “Kita juga mendelegasikan pemanggilan ke pihak kelurahan setempat, bila ternyata pihak ahli waris bertele-tele atau sedang tidak ada dirumah. Namun sehari sebelum sidang, berita pemanggilan itu harus sudah ada,” jelas Efran. Sidang perkara perdata Yayasan Beasiswa Supersemar yang melibatkan Soeharto itu digelar 19 Februari 2008 dengan menghadirkan ahli waris mantan penguasa orde baru tersebut untuk meneruskan kewajiban hukum ayahnya.
Ia menambahkan, dalam waktu tiga hari menjelang pelaksanaan sidang, anak-anak pak Harto tersebut dapat memutuskan kehadirannya dalam persidangan. Lebih lanjut dikatakan, jika pemanggilan tersebut tidak dipenuhi keenam anak Soeharto itu, akan dibuat pemanggilan kedua. Sementara jika para ahli waris ternyata memberi jawaban secara tertulis, maka majelis hakim sidang yang memutuskan bagaimana selanjutnya. Sekedar catatan, jika kasus korupsi ini berhasil dibuka, Hendarman Supanji akan tercatat sebagai orang tersukses dalam sejarah hukum di Indonesia karena mampu menuntaskan kasus korupsi.

Setahun setelah muncul Panama Papers yang mengungkap investasi para pesohor dunia di negara surga pajak Panama, kini muncul Paradise Papers yang mengungkap rincian kepemilikan investasi dan skema penghindaran pajak di Bermuda. 
Jika jutaan dokumen Panama Papers yang bocor itu berasal dari perusahaan penyedia layanan hukum offshore bernama Mossack Fonseca, maka Paradise Papers berasal dari perusahaan Appleby. Surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung adalah yang pertama kali memperoleh bocoran dokumen tersebut, yang kemudian dibagi ke International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). 
“Mereka [Mossack Fonseca dan Appleby] sama-sama firma hukum yang membantu klien mereka untuk membuka perusahaan cangkang di luar negeri. Jadi, kalau mau beli sesuatu di luar negeri, Anda tidak mau pakai nama Anda langsung, Anda bikin perusahaan cangkang atau shell company. Makin rahasia, makin mahal tarifnya,” papar salah satu anggota pendiri ICIJ Andreas Harsono kepada Antara
Para pesohor dunia yang disebut dalam Paradise Papers di antaranya Ratu Elizabeth II, vokalis U2 Bono, hingga Madonna. Beberapa nama pesohor di Indonesia seperti Prabowo dan dua anak Soeharto, yakni Hutomo Mandala Putra (Tommy) dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek), turut disebut dalam dokumen tersebut. 
Hutomo Mandala Putra disebut menjadi pemimpin Grup Humpuss serta menjadi direktur dan komisaris di Asia Market Investments Ltd., sebuah perusahaan terdaftar di Bermuda pada 1997 dan tutup tahun 2000. Tommy juga menjadi salah satu pemegang saham di perusahaan mobil sport Italia Lamborghini, menurut data Securities and Exchange Commission. 
Pada 1997, menurut laporan Appleby, terdapat perusahaan patungan di Bermuda yang terdiri dari anak perusahaan Humpuss dan NLD, sebuah perusahaan periklanan Australia. Perusahaan ini menjalankan proyek pemasangan iklan reklame di jalanan Victoria, Filipina, Malaysia, Myanmar, dan Cina. Namun perusahaan ini ditutup pada 2003. 
Sedangkan Mamiek disebut dalam dokumen itu menjadi wakil presiden Golden Spike Pasiriaman Ltd dan pemilik Golden Spike South Sumatera Ltd. Berdasarkan laporan ICIJ, kedua perusahaan itu terdaftar di Bermuda pada 1990-an tetapi kini sudah ditutup. Munculnya nama anak Soeharto kemudian memunculkan pertanyaan lama soal harta keluarga Cendana. 
Harta Keluarga Soeharto
Berdasarkan hasil investigasi Time yang diterbitkan pada 1999, Soeharto telah membangun kerajaan bisnis dan menimbun miliaran dolar AS di dalam maupun di luar negeri. Aset Soeharto di luar negeri termasuk taman berburu senilai 4 juta dolar AS di Selandia Baru dan saham di kapal pesiar senilai 4 juta dolar AS yang ditambatkan di dekat Darwin, Australia. 
Tak hanya aset, miliaran dolar uang Soeharto disimpan di bank Swiss. Hal ini diketahui saat Soeharto lengser, ia pun bergerak cepat untuk mengamankan harta kekayaannya dengan mentransfer 9 miliar dolar AS dari bank Swiss ke akun bank Austria. 
Menurut laporan Badan Pertanahan Nasional yang dikutip Time, di dalam negeri Soeharto mengendalikan 3,6 juta hektare lahan yasan (real estate) dan 100.000 meter persegi ruangan kantor di Jakarta. Dalam laporan New York Times, aset Soeharto diperkirakan mencapai 30 miliar dolar AS. Akan tetapi, Soeharto membantah laporan itu. Menurutnya, ia hanya memiliki 19 ha tanah di Indonesia serta tabungan sebesar 2,4 juta dolar AS. 
Laporan The Economist menyebut total harta pribadi Soeharto sebesar 16 miliar dolar AS karena telah dibagi-bagi kepada istri, enam anak, saudara tiri, hingga cucu laki-laki Soeharto. Berdasarkan lembaga Transparency International, harta Soeharto mencapai 15-35 miliar dolar AS. 
Harta Soeharto memang mengalir ke anak-anaknya. Mereka membantu dalam menimbun dolar di dalam dan di luar negeri. Berdasarkan laporan Time, anak-anak Soeharto memiliki ekuitas di sekitar 564 perusahaan, dan memiliki hubungan dengan ratusan perusahaan luar negeri lain yang tersebar dari Amerika Serikat, Uzbekistan, Belanda, Nigeria, dan Vanuatu.
Description: https://aurum.tirto.id/www/delivery/lg.php?bannerid=0&campaignid=0&zoneid=22&loc=https%3A%2F%2Ftirto.id%2Fdi-luar-paradise-papers-berapa-banyak-harta-keluarga-soeharto-czM6&referer=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F&cb=eb78a1c301Anak bungsu Soeharto, Tommy, memiliki 75 persen saham di lapangan golf lengkap dengan 22 apartemen mewah di Ascot, Inggris. Di Indonesia, ia membangun proyek mobil nasional atau mobil Timor yang berasosiasi dengan Kia Motors asal Korea Selatan. Di Jakarta, Tommy membangun sirkuit mobil di areal seluas 425 ha dengan biaya 50 juta dolar AS, menurut laporan New York Times
Sedangkan kakak Tommy, Bambang Trihatmodjo, memiliki rumah peristirahatan mewah senilai 8 juta dolar AS di Singapura dan sebuah rumah seharga 12 juta dolar AS di sebuah lingkungan eksklusif di Los Angeles yang tak jauh dari rumah Sigit Harjoyudanto (putra kedua Soeharto) senilai 9 juta dolar AS. Forbes tahun 2007 menobatkan Bambang sebagai orang terkaya ke-33 di Indonesia. Total harta yang dimilikinya 200 juta dolar AS.
Para putri Soeharto tak kalah tajir. Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut dikabarkan memiliki sejumlah pesawat seperti Boeing 737, Canadian Challenger 601, BAC - 111, McDonnell Douglas DC-10, dan pesawat dari Royal Squadron. 
Sebelum menjadi orang nomor satu di Indonesia, Soeharto dan istrinya, Siti Hartinah (Ibu Tien), hidup sederhana di sebuah rumah di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Saat itu Soeharto masih menggunakan mobil Ford Galaxy. Keinginannya untuk menimbun sejumlah uang mulai kentara pada 1950-an. Ia terlibat dalam penyelundupan gula dan kegiatan di luar militer di Jawa Tengah. Hal ini sempat membuatnya kehilangan kedudukan sebagai panglima Kodam Diponegoro pada 1959. 
Tak berhenti mengumpulkan dolar, tujuh tahun berselang atau pada 1966 bisnis keluarga Soeharto mulai terbentuk. Ketika resmi menjabat presiden, Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 8 untuk mengambil dua konglomerasi yang dikuasai Sukarno bernilai aset 2 miliar dolar AS. 
Soeharto berkuasa atas PT Pilot Project Berdikari yang dikelola Achmad Tirtosudiro, seorang pensiunan jenderal. Perusahaan ini menjadi salah satu motor utama kerajaan bisnis Soeharto. Ia kian berjaya bersama kroninya Liem Sioe Liong dan The Kian Seng, yang lebih dikenal sebagai Mohammad “Bob” Hasan. Soeharto juga mulai memberikan hak monopoli untuk impor, penggilingan, dan distribusi gandum serta tepung kepada PT Bogasari Flour Mills yang dikuasai oleh Kelompok Salim milik Liem. 
Untuk menutupi segala aksinya, Soeharto membangun yayasan amal untuk membiayai rumah sakit, masjid, hingga sekolah. Menurut George Junus Aditjondro, pengajar sosiologi di Universitas Newcastle, Australia, ada sekitar 79 yayasan yang dikuasai oleh Soeharto dan keluarga serta kroninya. 
“Yayasan-yayasan tersebut membeli berbagai saham, mendirikan berbagai perusahaan, meminjamkan uang kepada para pengusaha,” kata Adnan Buyung Nasution, seorang pengacara hak asasi manusia, seperti dilaporkan Time
Pada 1978, yayasan Soeharto berhasil menguasai 60 persen saham Bank Duta. Secara perlahan, kepemilikan Soeharto bertambah hingga 87 persen saham bank tersebut. Dana yayasan Soeharto kemudian diinvestasikan ke berbagai perusahaan swasta yang didirikan anggota keluarga Soeharto dan kroninya. 
Salah satu mesin penghasil uang utama bagi Soeharto adalah PT Nusantara Ampera Bakti, atau Nusamba, yang didirikan pada 1981 oleh tiga yayasan Soeharto dengan modal sekitar 1,5 juta dolar AS bersama Bob Hasan dan Sigit Suharto (masing-masing memperoleh saham 10 persen). 
Perusahaan ini kemudian membuka jaringan 30 anak perusahaan di bidang keuangan, energi, pulp dan kertas, baja, serta otomotif. Jantung Nusamba terletak pada saham sebesar 4,7 persen di Freeport Indonesia, sebuah perusahaan penambang emas AS di Papua. 
Melihat kesuksesan ayahnya, anak-anak Soeharto yang beranjak gede mulai terjun berbisnis. Dalam laporan Time, perusahaan Perta Oil Marketing dan Permindo Oil Trading milik Tommy dan Bambang menjadi perusahaan penyalur minyak bagi Pertamina pada 1980-an. Dua perusahaan ini menerima komisi sekitar 30-35 sen dolar per barrel. Selain itu keluarga Soeharto mendapatkan kontrak-kontrak Pertamina untuk asuransi, keamanan, suplai makanan, dan jasa-jasa lain. Totalnya mencapai 170 kontrak. 
Selain itu, Bambang menguasai Badan Urusan Logistis, lembaga monopoli pangan yang mengurusi tata niaga beras. Ia mendapat keuntungan 3-5 miliar dolar AS dari program pemerintah untuk menstabilkan harga beras. Bambang juga menguasai Satelindo yang menurut harga pasar bernilai 2,3 miliar dolar AS pada 1995. Sedangkan Tutut juga menguasai telekomunikasi, perbankan, perkebunan, penggilingan tepung terigu, konstruksi, kehutanan, serta penyulingan dan perdagangan gula. 

Pundi-pundi dolar keluarga Soeharto tak hanya bersumber dari kontrak-kontrak pemerintah, melainkan melalui perampasan lahan rakyat. Misalnya, peternakan sapi di Jawa Barat, yang dibangun setelah merampas tanah lebih dari 751 ha yang dihuni oleh lima desa. Pada 1996, perusahaan Tommy merampas tanah penduduk desa di Bali seluas 650 ha untuk resort. Perusahaan ini sebenarnya hanya memperoleh izin untuk 130 ha, yang kemudian diperluas secara ilegal. 
Pada 2016, nama Tommy Soeharto, Bambang, dan Tutut berada dalam daftar "150 Orang Terkaya Asia" yang dirilis The Globe Asia. 
Penghasilan Tommy didapat dari menjalankan Humpuss Group, pemain utama logistik energi dengan PT Humpuss Intermoda. Ia juga memiliki properti di bawah naungan KG Property, yang mengembangkan superblok Kota Mangkuluhur di Semanggi, Jakarta Pusat, dan kompleks apartemen Jayanti City.
Sedangkan Bambang Trihatmodjo berada di urutan ke-124 dengan total kekayaan 240 juta dolar AS dan Tutut menempati urutan ke-132 dengan total kekayaan 190 juta dolar AS. 
Kekayaannya itu diperoleh dari Citra Marga Nusaphala Persada, operator jalan tol yang paling menguntungkan, meski akhirnya dilepas ke putrinya, Danty Indriastuty Purnamasari.
Siti Rukmana juga membangun perusahaan patungan Citra Lamtoro dengan San Miguel Corp dari Filipina untuk mengakuisisi kepemilikan saham tak langsung South Luzon Tollway Corporation (SLTC) dan Manila Toll Expressway Systems Inc. CMNP, yang menjadi induk perusahaan Citra Lamtoro, juga menjadi bagian dalam proyek jalan Tol Cikampek-Palimanan, sebuah bagian dari jalan raya Trans-Jawa.
Soeharto vs Time
Laporan mendalam Time soal kekayaan Soeharto kemudian menuai masalah. Melalui pengacaranya, The Smiling General itu melayangkan gugatan perdata di PN Jakarta Pusat setelah tak ada tanggapan dari dua somasi yang dilayangkan kuasa hukum Soeharto kepada Time Asia Inc. 
Dasar gugatan Soeharto adalah pemberitaan Majalah Time edisi Asia pada 24 Mei 1999 Vol. 153 No. 20 dengan judul sampul SUHARTO INC. How Indonesia’s longtime boss built a family fortune, yang dianggap tendensius, insinuatif, dan provokatif. Namun, PN Jakarta Pusat pada 2000 menolak seluruh tuntutan dari Penggugat atas pijakan bahwa pemberitaan Time tak memenuhi unsur perbuatan melawan hukum berdasarkan pasal 1365 dan 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 
Tak menyerah pada keputusan itu, Soeharto melakukan upaya banding. Namun, Pengadilan Tinggi Jakarta pada 2001 menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. Pada 2007, Mahkamah Agung memutuskan majalah Time telah melakukan fitnah sehingga harus dihukum dengan ganti rugi sebesar Rp1 triliun dan memasang iklan permintaan maaf di pelbagai media Indonesia, termasuk di tiga edisi internasional Majalah Time. 
Dua tahun kemudian, keputusan kasasi dibatalkan. Mahkamah Agung menyatakan Time tidak perlu membayar ganti rugi Rp1 triliun kepada keluarga Soeharto. Pada tahun yang sama, Bank Dunia dan PBB menyebut Soeharto sebagai pemimpin paling korup di dunia. 
“Pada akhirnya, satu hal paling transparan di Indonesia adalah korupsi,” kata seorang pengacara Amerika yang sudah lama bekerja di Indonesia kepada Time.
Baca juga artikel terkait PARADISE PAPERS atau tulisan menarik lainnya Yantina Debora
(tirto.id - Hukum) Penulis: Yantina Debora Editor: Windu Jusuf



Tidak ada komentar:

Posting Komentar