A. Praktik Koalisi Dalam Sistem
Presidensial Indonesia
Perdebatan
mengenai sistem pemerintahan bukanlah mengenai sistem mana yang lebih baik,
melainkan mengenai pilihan mana yang lebih tepat bagi suatu negara berdasarkan
struktur sosial, budaya politik dan sejarahnya,[1] karena
setiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Secara historis,
Indonesia pernah gagal menerapkan sistem parlementer.[2] Pasca
Reformasi, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mempertegas sistem presidensial
sebagai dasar penyelenggaraan negara. Namun, sistem kepartaian dan sistem
pemilu Indonesia saat ini justru memperlemah sistem presidensial itu sendiri.
Sistem kepartaian Indonesia, yakni multipartai, menyebabkan fragmentasi yang
luas. Demikian pula sistem Pemilu Indonesia, yakni proportional representation, tidak
mungkin menghasilkan majority government, Keadaan inilah yang mendorong
partai politik untuk membentuk koalisi. Padahal koalisi adalah salah satu
pranata sistem parlementer yang berekses negatif terhadap jalannya
pemerintahan.
Scott
Mainwaring mengemukakan tiga kelemahan koalisi jika dibentuk dalam sistem
presidensial. Pertama, dalam sistem presidensial, presiden membentuk
sendiri kabinetnya, sementara partai politik mempunyai komitmen yang rendah
dalam mendukung presiden. Kedua, anggota legislatif dari partai politik
yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah
sepenuhnya. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik membubarkan
koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.[3]
Dalam
konteks Indonesia, koalisi dibentuk sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden dengan tujuan untuk memenangkan calon yang diusung oleh koalisi
tersebut. Tawar-menawar antar partai yang berkoalisi justru mengenai pembagian
jabatan menteri dan jabatan lainnya tanpa disertai perumusan
platformbersama, padahal menteri-menteri tersebut berasal dari partai
politik yang berbeda dengan konstituen dan kepentingan yang berbeda pula. Hal
inilah yang melemahkan hak prerogatif presiden dalam penyusunan kabinet.
Profesionalisme yang semestinya menjadi dasar pengisian jabatan menteri
dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi. Keadaan ini berekses
pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Selain itu, koalisi yang dibentuk
tidak menjamin bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi yang memiliki
wakil di badan legislatif akan selalu mendukung program-program pemerintah.
Padahal, salah satu tujuan dibentuknya koalisi agar presiden mendapat dukungan
mayoritas badan legislatif untuk menghindari deadlock antara
eksekutif dan legislatif serta immobilisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Praktik
koalisi di Indonesia yang didorong oleh sistem multipartai dan
sistem proportional representation justru memperlemah sistem
presidensial dan mengganggu hubungan eksekutif dan legislatif. Untuk
menghindari pembentukan koalisi tersebut, penataan sistem kepartaian dan sistem
pemilu Indonesia perlu dilakukan. Penataan tersebut dilakukan dengan
penyederhanaan jumlah partai peserta pemilu melalui peningkatan electoral
threshold dan parliamentary threshold yang dikombinasikan dengan
sistem distrik. Sistem ini mendorong penyederhanaan partai secara alami dan
memungkinkan bagi suatu partai untuk meraih posisi mayoritas di badan
legislatif dan setidaknya dapat mengurangi fragmentasi kekuatan parpol
yang ada sehingga memperkecil kecenderungan pembentukan koalisi. Apabila
pembentukan koalisi tidak dapat dihindari melalui mekanisme ini, maka koalisi
dapat saja dibentuk dengan tetap mempertahankan ide dasar untuk memperkuat
sistem pemerintahan presidensial melalui beberapa perbaikan yang pada akhirnya
akan menciptakan pola hubungan yang kondusif antara eksekutif dan legislatif.
Upaya perbaikan tersebut meliputi:pertama, pembentukan koalisi harus dilakukan
melalui serangkaian tahapan negosiasi formal; kedua, pelaksanaan praktik
koalisi tidak hanya didasarkan pada transaksi politik, tetapi juga didasarkan
pada platform bersama yang mengakomodasi kepentingan rakyat; ketiga, pelaksanaan
praktik koalisi harus ditunjang dengan etika politik untuk menyehatkan situasi
psiko-politik di Indonesia. Saran yang diajukan yaitu: pertama, desain
ketatanegaraan Indonesia perlu dievaluasi dalam rangka mempertegas sistem
presidensial dan harus diikuti dengan keinginan sungguh-sungguh untuk
melaksanakan sistem presidensial secara ajeg, kedua, apabila
hambatan-hambatan hukum tidak dapat diselesaikan dengan cara melakukan
perubahan secara formal, maka praktik ketatanegaraan serta praktik politik yang
beretika berlandaskan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan harus dikembangkan
guna menguatkan sistem presidensial di Indonesia
Sistem
kepartaian berkaitan dengan perilaku partai-partai sebagai bagian dari suatu
sistem, yaitu bagaimana partai politik berinteraksi satu sama lain dan
berinteraksi dengan unsur-unsur lain dari sistem itu. Prof. Bagir Manan
menyatakan bahwa dalam suatu tatanan pemerintahan yang demokratis, hubungan
timbal balik antara infrastruktur dan suprastruktur politik mempunyai peranan
strategis.[4]
Infrastruktur utama yang berperan dalam sistem pemerintahan adalah sistem
kepartaian. Sistem kepartaian menunjuk pada keanggotaaan partai di
parlemen yang turut mempengaruhi fragmentasi politik di pemerintahan. Dengan
demikian, semakin banyak jumlah partai politik maka semakin luas pula
fragmentasi politik yang terjadi.[5]
Kombinasi
antara sistem multipartai dan sistem pemilihan umum proportional
representation yang diterapkan di Indonesia saat ini menyebabkan sulitnya
memperoleh suara mayoritas di badan legislatif dan majority
government. Hal ini mendorong pembentukan pemerintahan koalisi. Prof.
Bagir Manan mengartikan koalisi sebagai sistem eksekutif yang disusun, didukung
dan terdiri dari orang-orang yang mewakili partai-partai politik yang mempunyai
wakil di badan legislatif, dan bertanggung jawab kepada badan legislatif yang
dibentuk untuk memperoleh dukungan mayoritas badan legislatif.
Dalam
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, disyaratkan pasangan calon
harus diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik yang memperoleh kursi paling sedikit 20% (dua puluh
persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua
puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota Dewan
Perwakilan Rakyat sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden[6]. Akibatnya,
koalisi menjadi satu-satunya pilihan bagi partai politik yang tidak memenuhi
persyaratan tersebut untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Dengan demikian, sistem kepartaian dan sistem
pemilu Indonesia yang diterapkan saat ini mendorong pembentukan koalisi.
Secara
teoretis, koalisi merupakan salah satu pranata yang dikenal dalam sistem
parlementer. Dalam praktiknya, terkadang pranata ini berakibat negatif terhadap
jalannya pemerintahan. Benjamin Reilly[7] dari
Australian National University menyebutkan beberapa kelemahan
koalisi. Pertama, tendency
towards ponderous or immobile decision-making karena lebih mudah
mengalami executive deadlock yang disebabkan oleh ketidakmampuan
partai-partai koalisi untuk mencapai kesepakatan mengenai isu-isu
tertentu. Kedua, lack of
accountability and discipline karena sulit bagi para pemilih untuk
menentukan siapa yang bertanggung jawab atas suatu keputusan dan menilai
kinerja pemerintahan. Ketiga, propensity
towards weak or fragmanted government karena dalam situasi yang
terfragmentasi, eksekutif cenderung lemah dan tidak stabil sehingga melemahkan
keberlanjutan dan arah kebijakan publik.
Scott
Mainwaring mengemukakan tiga kelemahan koalisi dalam sistem
presidensial. Pertama, dalam sistem presidensial, presiden membentuk
sendiri kabinetnya, sementara partai politik mempunyai komitmen yang rendah
dalam mendukung presiden. Kedua, anggota legislatif dari partai politik
yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah
sepenuhnya. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik membubarkan
koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.[8] Oleh
karena itu, pembentukan koalisi dalam sistem presidensial lebih problematik
dibanding dalam sistem parlementer.
Dalam
konteks Indonesia, koalisi dibentuk sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden dengan tujuan untuk memenangkan calon yang diusung oleh koalisi
tersebut. Tawar-menawar antar partai yang berkoalisi justru mengenai pembagian
jabatan menteri dan jabatan lainnya tanpa disertai perumusan
platform bersama, padahal menteri-menteri tersebut berasal dari
partai politik yang berbeda dengan konstituen dan kepentingan yang berbeda pula.
Hal inilah yang melemahkan hak prerogatif presiden dalam penyusunan kabinet.
Profesionalisme yang semestinya menjadi dasar pengisian jabatan menteri
dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi. Keadaan ini berekses
pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Selain itu, koalisi yang dibentuk
tidak menjamin bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi yang memiliki
wakil di badan legislatif akan selalu mendukung program-program pemerintah.
Padahal, salah satu tujuan dibentuknya koalisi agar presiden mendapat dukungan
mayoritas badan legislatif untuk menghindari deadlock antara
eksekutif dan legislatif serta immobilisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Misalnya, kasus Bank Century yang menunjukkan lemahnya komitmen
partai-partai yang menjadi mitra koalisi.
Beberapa hari yang lalu ada sebuah
kritikan terhadap lembaga Legislatif RI yang datang dari wakil ketua DPR RI sendiri
tentang diamnya anggota DPR RI terhadap berbagai kebijakan eksekutif yang
dinilai tidak sesuai rule yang ada, dimana seharusnya mereka duduk di Parlemen
untuk bersuara dan mengkritisi kebijakan eksekutif yang dianggap menyimpang,
namun karena jatah “kue” telah didapatkan tiada daya nurani untuk bersuara.
Dalam kritikannya yang disampaikan melalui media social.
Semua
negara yang rakyatnya sejahtera, legislatifnya akan kuat mengawasi eksekutif
namun yang terjadi di Indonesia saat ini legislatif lemah karena adanya koalisi
abal-abal yang pada hakikatnya bukan penyatuan visi, misi ataupun ideologi
tetapi lebih kepada bagi-bagi kursi kekuasaan, akhirnya semua tindakan ngawur
pemerintahan tidak ada yang mencegah, setiap hari di puji oleh media padahal
sedang merusak Negara yang ini merupakan tugas pokok legislative sebagai dewan
pengawas, namun semua sudah dilemahkan, padahal seharusnya minimal hak bertanya
oleh DPR RI bisa dilakukan. Seperti, kenapa Presiden bermanuver dengan
seringkali meresufle menteri dengan alasan yang tidak subtansial atau
menjadikan orang asing menjadi menteri atau kenapa Presiden tidak melanjutkan
kasus century, teman Ahok, reklamasi dan sumber waras atau mungkin kenapa
gubernur DKI tidak diproses sementara gubernur lain diproses, ada banyak
pertanyaan yang apabila tidak memuaskan DPR RI dapat mengajukan hak interpelasi
(hak bertanya yang harus dijawab oleh Presiden di sidang paripurna DPR) jika
jawaban hak interpelasi tidak memuaskan DPR bisa menggunakan hak angket (hak
angket memungkinkan semua sisi gelap peristiwa diungkap terbuka) ini yang
menjadi sorotan, karena jika hak angket digunakan maka tidak ada satupun
pejabat yang tidak dapat dipanggil termasuk Presiden, dan jika hak angket
hasilkan suatu temuan, DPR dapat gunakan hak menyatakan pendapat (HMP) dan
inilah yang menakutkan.
Diamnya legislatif saat ini tidak
lepas disebabkan karena pragmatisme politik yang terjadi, padahal bukan menjadi
alasan DPR untuk diam melihat dan mengetahui banyaknya masalah di pemerintahan
walaupun itu dari partainya sendiri, bahwa dalam presidensialisme tidak
seharusnya anggota DPR tunduk pada penguasa, meski ia satu partai. Kalau parlementer
wajar, sebab koalisi pemerintahan itu dibentuk parlemen dan pemerintahan juga
dibentuk parlemen maka otomatis anggota parlemen terikat dengan kekuasaan yang
dia bentuk, berbeda dengan presidensial sebagaimana yang telah kita bahas
diatas bahwa presiden yang membentuk kekuasaan dan parlemen tidak terlibat
sehingga sejatinya ia berkoalisi dengan rakyat, parlemen ada untuk mengawasi
kekuasaan yang dibentuk Presiden, sebab kalau semua sudah dikutsertakan masuk
pemerintahan dan disuruh diam karena diberi jabatan, lalu siapa yang bertugas
mengawasi pemerintah. Lalu siapa yang menjadi wakil rakyat untuk mengawasi
pemerintah jika DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) diam.
B.Restrukturisasi
Praktik Politik dalam Rangka Penataan Hubungan Eksekutif dan Legislatif
Sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya, kombinasi antara sistem multipartai dan sistem pemilihan
umum proportional representationyang diterapkan di Indonesia saat ini
menyebabkan sulitnya diperoleh suara mayoritas di parlemen dan majority
government sehingga mendorong terbentuknya koalisi. Untuk menghindari
pembentukan koalisi yang justru mengganggu stabilitas hubungan antara ekskutif
dan legislatif, maka penataan sistem kepartaian dan sistem pemilu Indonesia
perlu dilakukan.
Berbeda
dengan Indonesia, Amerika Serikat menerapkan sistem presidensial secara
tegas dan konsisten dengan sistem dua partai (two-party system).
Artinya, ada dua partai berbeda yang mendominasi cabang kekuasaan
eksekutif di satu sisi, dan cabang kekuasaan legislatif di sisi lainnya. Selain
itu, sistem single member majoritarian congressional districts yang
diterapkan negara ini semakin menutup kemungkinan bagi partai-partai lain untuk
ikut serta dalam pencalonan presiden. Pemilihan Presiden dan Kongres
dilaksanakan secara terpisah sehingga partai pemenang dalam pemilihan kongres
tidak serta-merta menjadi pemenang dalam pemilihan presiden. Dengan demikian,
presiden dan pejabat eksekutif lainnya bisa saja berasal dari satu partai
sedangkan partai pemenang dalam pemilu kongres dapat saja menjadi partai
oposisi.[9] Kombinasi antara sistem dua partai
(two-party system) dan single member majoritarian congressional
districts terbukti menghindarkan fragmentasi yang luas serta memungkinkan
untuk menghasilkan majority government sehingga tidak perlu membentuk
koalisi.
Dalam
konteks Indonesia yang merupakan negara yang plural, maka keanekaragaman budaya
politik mendorong ke arah multipartai sehingga sulit menerapkan
sistem dua partai seperti di Amerika Serikat. Sistem banyak partai ini
menyebabkan fragmentasi kekuatan parpol semakin luas. Untuk menghindari
terjadinya fragmentasi yang luas tersebut, maka perlu diadakan
penyederhanaan jumlah partai peserta pemilu. Penyederhanaan dapat dilakukan
dengan meningkatkan ambang batas (electoral threshold) untuk membatasi
jumlah partai peserta pemilu dan parliamentary threshold untuk
membatasi jumlah partai yang memperoleh kursi di badan legislatif.[10]
Perlu ditegaskan bahwa penyederhanaan tersebut bukan dimaksudkan untuk membatasi
kebebasan berserikat dan berkumpul yang telah dijamin dalam konstitusi,
melainkan dimaksudkan untuk menyederhanakan jumlah partai. Oleh karena itu,
peningkatan ambang batas ini harus diatur dalam undang-undang. Hal ini
dikarenakan penerapan prinsip ambang batas dipandang membatasi keikutsertaan
individu dalam pemerintahan. Pada prinsipnya, hanya rakyatlah yang dapat
melakukan pembatasan tersebut.
Selain
sistem kepartaian, sistem pemilu yang dianut oleh Indonesia saat
ini yaitu proportional representation tidak mungkin
menghasilkan majority government. Sebagaimana dikemukakan oleh Jean
Blondel bahwaproportional representation kurang mendorong partai
untuk berintegrasi dan memperluas fragmentasi sehingga berujung pada perpecahan
yang menyebabkan bertambahnya jumlah partai. Untuk menghindari berbagai ekses
tersebut, maka penulis berpendapat bahwa sistem pemilu yang tepat untuk
Indonesia adalah sistem distrik atau dikenal pula dengan
istilah single-member constituency. Sistem ini mendorong penyederhanaan
partai secara alami dan memungkinkan suatu partai untuk meraih posisi mayoritas
di parlemen.[11]
Pada
hakikatnya, sistem distrik yang diterapkan dalam sistem multipartai dimaksudkan
untuk menyederhanakan jumlah partai politik. Bahkan, penerapan sistem ini di
Amerika Serikat menghasilkan dua partai dominan yang menghindarkan negara ini
dari praktik koalisi. Apabila sistem distrik ini diterapkan di Indonesia,
setidaknya dapat mengurangi fragmentasi kekuatan parpol yang ada sehingga
memperkecil kecenderungan pembentukan koalisi. Akan tetapi, apabila pembentukan
koalisi tersebut tidak dapat dihindari dalam praktik politik di Indonesia saat
ini, maka koalisi dapat saja dibentuk dengan tetap mempertahankan ide dasar
untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Konsekuensi
logis dari pilihan mempertahankan praktik koalisi dalam sistem presidensial di
Indonesia adalah dengan melakukan perbaikan-perbaikan dalam praktik koalisi
tersebut. Pada akhirnya, perbaikan tersebut akan menciptakan pola hubungan yang
kondusif antara eksekutif dan legislatif. Upaya perbaikan yang dapat dilakukan
antara lain[12]:
Pertama,
pembentukan koalisi dilakukan melalui serangkaian tahapan negosiasi formal
untuk menghindari terjadinya inkoherensi paradigma bernegara, inkoherensi
sistem politik dan pemerintahan, dan inkoherensi tingkah laku kekuasaan
berdemokrasi antar partai koalisi. Tahapan negosiasi formal ini merupakan
landasan penting untuk menetapkan komitmen dan konsistensi partai politik dalam
rangka menjaga keberlangsungan koalisi. Dalam tahapan ini, partai politik yang
akan membentuk koalisi bersama-sama menentukan calon presiden dan wakil
presiden yang akan diusung. Untuk menentukan calon tersebut, dapat didasarkan
pada hasil pemilu legislatif dan/atau popularitas calon. Dengan demikian,
partai politik anggota koalisi mempunyai tanggung jawab yang lebih besar atas
kelangsungan pemerintahan koalisi.
Kedua,
pelaksanaan praktik koalisi tidak hanya didasarkan pada transaksi politik,
tetapi juga didasarkan pada platform bersama yang mengakomodasi
kepentingan rakyat. Pembentukan platform ini didasari oleh kesamaan
ideologi partai politik bersangkutan. Artinya, partai-partai yang mempunyai
kesamaan ideologi saja yang dapat menjadi mitra koalisi. Selain
itu, platform yang telah disepakati tersebut harus dideklarasikan
kepada rakyat secara layak sehingga rakyat turut mengawal jalannya koalisi.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat, koalisi tersebut harus
menyampaikan pencapaian-pencapainnya selama masa pemerintahan.
Ketiga,
pelaksanaan praktik koalisi harus ditunjang dengan etika politik untuk
menyehatkan situasi psiko-politik di Indonesia. Etika politik tersebut
terefleksi dalam perilaku para pelaku politik. Oleh karena itu, diperlukan
usaha sungguh-sungguh dari para pelaku politik untuk tidak terjebak dalam
pragmatisme yang hanya berorientasi pada kepentingan sesaat dengan meninggalkan
nilai-nilai dasar demokrasi dan kemanusiaan, serta tidak melemahkan sistem
presidensial yang dilembagakan secara hukum melalui lembaga-lembaga kenegaraan.
C. Koalisi Dalam Sistem Presidensial
Menurut UUD
Setelah
reformasi 1998 bergulir ada sebuah tuntutan oleh masyarakat untuk mengubah
struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu bagaimana mengubah UUD 1945. 1999-2002
adalah sebuah langkah awal yang diambil oleh kaum elit-etit kita melalui
“kompromi politik”[13] untuk
mengubah UUD 1945. tetapi sebelum melakukan perubahan UUD 1945, MPR dalam
sidang istimewa MPR tahun 1998 mencabut ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang
referendum yang mengharuskan terlebih dahulu penyelenggaraan referendum secara
nasional dengan persyaratan demikian sulit sebelum dilakukan
perubahan UUD 1945 oleh MPR. Setelah ketetapan MPR itu dicabut maka
diubahlah UUD 1945 sesuai dengan pasal 37 UUD 1945, walaupun dalam proses
perdebatan tersebut banyak pakar yang berbeda pendapat dalam proses perubahan
UUD 1945 yaitu apakah UUD 1945 di tetapkan dulu sesuai pasal 3 UUD 1945 ataukan
langsung saja dilakukan perubahan tanpa ditetapkan. Tetapi yang terjadi adalah
UUD 1945 tersebut langsung dilakukan perubahan tanpa dilakukan penetapan
terlebih dahulu. Kemudian ditengah proses perubahan UUD 1945, panitia Ad
hoc I menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945.
Kesepakatan dasar itu terdiri atas lima butir, yaitu
1. Tidak
Mengubah Pembukaan UUD 1945.
2. Tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Mempertegas
sistem pemerintahan Presidensial.
4. Penjelasan
UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan kedalam pasal-pasal (
batang tubuh ).
5. Melakukan
perubahan dengan cara adendum.
Dalam
permasalahan ini kita akan membahas tentang sistem pemerintahan. Dalam artian
poin ketiga yaitu Mempertegas sistem pemerintahan Presidensial. Karena
para pendiri bangsa ini ketika mengubah UUD 1945 berdalih bahwa mempertegas
sistem presidensial adalah bertujuan untuk memperkukuh pemerintahan yang stabil
dan demokratis yang dianut oleh negara indonesia dan pada tahun 1945 telah
dipilih oleh pendiri bangsa. Jadi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah
apakah indonesia menganut sistem presidensial seperti apa yang telah digagas
para bangsa (the founding father’s)?.
Kalau
kita menelaah lebih jauh UUD 1945 setelah amandeman, memang tetap
mempertahankan sistem presidensial, dengan dalih bahwa banyaknya Pasal-Pasal
yang menguatkan posisi Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Setelah saya melihat dari 37 pasal dalam UUD 1945 setelah amandemen bahwa ada
19 Pasal yang menguatkan posisi presiden dan 2 (dua) pasal yang meminta persetujuan
dan pertimbangan dari 37 pasal yang ada dalam UUD. Tetapi perlu dipahami
walaupun banyak pasal yang menguatkan posisi presiden sebagai kepala negara dan
kepala pemeritahan dalam UUD 1945 belum menjamin bahwa indonesia menganut
sistem presidensial seperti apa ketika kita melikik kepada sistem pemeritahan
presidensial amerika serikat.[14] karena
ada beberapa pasal juga yang dimana praktek-praktek parlementer itu masuk dalam
UUD kita.
Seperti
pasal 20[15]
bahwa “setiap rancangan undang-undangan dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan berasama.” Pasal ini
mempertegas bahwa setiap rancangan undang-undang yang ingin dibuat maka harus
mendapat persetujuan bersama antara eksekutif dan legeslatif, seandainya itu
tidak terjadi maka hal tersebut maka proses pembahasan undang-undang yang ingin
dibuat tidak dapat diealisasikan. Sedangkan salah satu ciri sistem presidensial
menurut jimly asshiddiqy adalah terdapat pemisahan yang jelas antara legeslatif
dan eksekutif, jadi secara tidak langsung ada suautu pemisahan yang tegas
antara cabang-cabang lembaga negara tersebut. Tetapi dengan melihat pasal ini
maka ada suautu ketidaktegasan pemisahan kekuasaan antara legeslatif dan
eksekutif, karena seakan-akan antara ekekutif dan legeslati melebur menjadi
satu yang saling kait mengkitkan atau saling membutuhkan, sehingga ciri ini
lebih dekat dengan sistem parlementer yang dianut dibeberapa negara didunia.
Tetapi walaupun demikinan banyak pakar hukum tata negara menyatakan bahwa Indonesia
lebih dekat dengan sistem pemerintahan yang bersifat semi
presidensial (hibryd
system).
D. Sejauh mana Konstitusi atau UUD
1945 melihat Koalisi tersebut, apakah memberikan ruang untuk melaksanakan
koalisi dalam sistem presidensial.
Secara eksplisit,
kalau kita melihat dalam UUD 1945 sebenarnya keberadaan koalisi tersebut merujuk
kepada Pasal 6A (2) bahwa“Pasangan calon presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum.” Kata “gabungan partai politik” disini sebenarnya membenarkan adanya
koalisi karena kata “gabungan” tersebut bermakna bahwa ada lebih dari satu
partai yang menggabungakan lalu mengusulkan seorang presiden. Jadi jelas bahwa
koalisi dibenarkan keberadaannya. Tetapi menurut hemat saya koalisi itu
dibenarkan secara konstitusi hanya pada proses mengusulkan calon presiden,
bukan dalam proses jalannya sebuah pemerintahan. Jadi sudah jelas bahwa menurut
hemat saya konstitusi hanya memberikan ruang untuk melaksanakan kolasi dalam
mencalonkan seorang presiden dan wakil presiden dan selain itu tidak
diperbolehkan adanya. Derivasi dari UU No.42 Tahun 2008 juga membenarkan hal
tersebut dalam pasal 9 bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik
atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan
kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu
anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Jadi
ketika dalam proses pemerintahan ada sebuah koalisi ini sesuatu yang tidak
sejalan dengan konstitusi, apalagi seperti apa yang saya kemukakan sebelumnya
bahwa koalisi dalam sistem presidensial adalah sesuatu yang tabuh karena
koalisi dalam sistem presidensial dan sistem parlementer adalah sesuatu yang
berbeda. Karena itu, dalam tulisan “Presidentialism, Multipartism, and
Democracy: The Difficult Combination” Mainwaring menyatakan bahwa the
combination of presidentialism and multipartism is complicated by the
difficulties of interparty coalition-buliding in prresidential democracies.Jika
dibandingkan dengan pembentukan koalisi dalam sistem parlementer, Scott
Mainwaring mengemukakan tiga perbedaan koalisi multi-partai dalam sistem
pemerintahan presidensial.
“Pertama,
dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih menteri-menteri
dan perdana menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawab memberikan dukungan
kepada pemerintah. Sedangkan dalam sistem presidensial, presiden membentuk
sendiri kabinetnya (presidents put together their own cabinets) dan
partai politik punya komitmen yang rendah untuk mendukung presiden. Kedua,
berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial,
anggota legislatif dari partai politik yang punya menteri di kabinet tidak
mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik untuk
membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.[16]
Kemudian
koalisi tersebut sebenarnya juga tidak dapat dihindari karena fakta yang
terjadi bahwa indonesia menganut sistem multy partai, jadi suatu keharusan bagi
presiden untuk membuat suatu koalisi. Karena ini merupakan suatu langkah yang
darurat yang harus dilakukan oleh presiden. Karena bagaimana pun presiden
membutuhkan uluran tangan dari DPR untuk memuluskan kebijakan-kebijakan
presiden kedepannya, baik dalam proses legeslasi maupun non-legeslasi.
Sudah
dijelaskan sebelumnya dalam UUD 1945 pasal 20(2) “Setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama” dan ayat (3) “Jika rancangan undang-undang
tersebut tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak
boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa
itu.” Maka sudah jelas dalam konstitusi indonesia bahwa sesuatu yang
sakral bagi presiden dan DPR untuk bersama-sama memuluskan suatu kebijakan
legeslasi dan ketika salah satunya saja tidak menyetujui maka program legeslasi
itu pun batal dengan sendirinya. Maka yang menjadi sesuatu hal yang buruk
terjadi ketika Partai pendukung presiden di DPR itu minoritas, maka presiden
tersebut harus membangun kekuatan diparlemen untuk memuluskan kebijakannya,
karena itu biasanya dalam negara yang menganut sistem multy partai , hal yang
sering dilakukan adalah bagaimana melakukan koalisi-koalisi. Tetapi
bagaimanapun seperti apa yang tadi saya kemukakan sesuatu hal yang sulit itu
akan terjadi ketika sistem multy partai digabungakn dengan sistem presidensial
karena koalisi yang dihasilkan gampang terjadi kerapuhan atau
ketidakkonsistenan. Dan itu terjadi secara fakta di Indonesia.
E. Koalisi dalam sistem presidensial
mendukung suatu peralihan paradigma dari eksekutf heavy menuju legeslatif
heavy.
Setelah
reformasi bergulir 1998, terjadi suatu perubahan struktur ketatanegaraan secara
bertahap diinodonesia yaitu dengan mengamandemen UUD 1945 sebanyak 4 (empat)
kali (1999-2002). Dimana dulu ada lembaga tertinggi negara yaitu MPR, dengan
diamandemennya UUD 1945 maka tidak ada lagi lembaga negara yang mendominasi.
Sekarang antar lembaga negara hanya ada prinsip check and balance dan
tidak ada prinsip saling mebawahi seperti dulu. salah satu agenda reformasi
selain bagaimana mengutkan demokratisasi yang ada diindonesia adalah bagaimana
juga menguatkan sistem presidensial (eksekutif heavy) diindonesia,
tetapi tetap dalam bingkai konstitusonal agar tidak terjadi juga
kesewenang-wenangan oleh presiden (abuse of power). Tetapi yang menjadi suatu
masalah yang dihadapi negeri ini setelah reformasi adalah banyaknya partai
politik yang mendominasi sehingga indonesia menganut sistem partai yang
majemuk(multiparty system). Jadi setelah reformasi ada suatu peralihan sistem
partai yang ada diindonesia yaitu bagaimana yang dahulunya cuman ada 3 (tiga)
partai sekarang menajdi banyak partai (multiparty system). Dan inilah
menjadi titik kekacauan menurut saya setelah reformasi itu bergulir yaitu
indonesia menganut sistem multi partai.
Seperti
apa yang saya kemukakan sebelumya bahwa disatu sisi the founding
father’s kita mengeinginkan memperkuat sistem presidensial kita. Tetapi
disatu sisi harus dihadapkan dengan sistem multypartai, padahal ketika sistem
multi partai digabungkan dengan sistem presidensial maka rentang terjadi suatu
pemerintahan yang terbelah, seperti apa yang dikemukakan oleh scott mainwaring.
Rentang terjadi konflik antara legeslatif dan eksekutif, dan disatu sisi juga
dimana gampang terjadi kompromi sehingga hak-hak konstitusional presiden terganggu
karena harus membangun koalisi. Dan disatu sisi koalisi tersebut tidak
permanen. Fakta itupun terjadi kalau kita melihat kasus hak angket bank century
dimana koalisi yang dibangun oleh pemerintah tak dapat berbuat apa-apa sehingga
2 partai yang tergabung dalam koalisi sedikit berlawanan arah dengan koalisi
tersebut sehingga kita dapat berkesimpulan bahwa koalisi yang dibangun tak
permanen. Disatu sisi juga, presiden gampang “tersandra” akibat multypartai
tersebut sehingga harus melakukan kompromi-kompromi yang berujung pada
kepentingan-kepentingan elitis belaka jasa.
Yang
menjadi pertanyaan sekarang adalah, apa yang harus diperbuat ?. menurut hemat
saya banyak hal yang bisa dilakukan, seandainya UUD 1945 dapat diamanden lagi,
saya cuman berharap untuk menguatkan sistem presidensial tersebut harus ada
suatu perubahan besar-besaran dalam pasal-pasal dalam UUD 1945 terutama yang
bernuansa parlementer, dimana pasal yang berkaitan dengan parlementer itu
diubah kalau betul ingin menguatkan sistem presidensial. Karena banyak diantara
pakar hukum tata negara mengemukakkan bahwa sistem pemerintahan indonesia lebih
ke semi-presidensial. Kemuadian, sistem multypartai ini harus disederhanakan.
Walaupun memang masih banyak yang mengatakan bahwa ini melanggas demokrasi
diindonesia karena melakukaan suatu pembatasan. Indonesia telah menerapkan
semacam parlementery treshold , itu perlu diberi suatu suport
terhadap hal tersebut. Yaitu ambang batas partai politik untuk masuk dalam
parlemen tersebut pelu dinaikkan karena kalau kita melihat UU No.10 Tahun 2008
maka ambang batas itu hanya 2,5 %, sehingga waktu pemilu 2009 ada 9
(sembilan) partai yang masuk dalam DPR ( Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN, PKB,
PPP, Gerindra dan Hanura ), dan menurut saya partai yang ada dalam DPR tersebut
masuh terlau banyak dan masih perlu ditambanh ambang batasnya. Kalau hemat saya
sih, harusnya ambang batas itu sampai 5-7 % dinaikkan. Karena itu lebih efektif
untuk menstabilkan jalannya pemerintahan karena multypartai tersebut bisa teratasi
sedikit-demi sedikit. Walapun masih banyak orang yang mengatakan ini melanggar
demokrasi. Tetapi menurut saya ini bukan melanggarar sebuah demokrasi karena
sesuai dengan UU No.2 tahun 2008 Jo. UU no. 2 Tahun 2011 tentang partai politik
tersebut setiap orang berhak membuat partai politik dan itu tidak ada batasan
yang penting memenuhi syarat yang ada dalam undang-undang tersebut. Dan dengan
adanyaparlementary treshold itu menurut saya bukan suatu batasan, karena
partai-partai yang dipilih tersebut akan terseleksi dengan sendirinya dan
rakyat yang menentukan apakah parwakilan-paerwakilan partai tersebut berhak
masuk parlemen dengan adanya parlementery treshold.
Kemudian
seandainya penguatan presidensial itu terjadi dan multIpartai tersebut mulai
dihilangkan di negeri ini maka sistem check anda balace juga harus
diperkuat. Jangan sampai ketika presiden terlalu dikuatkan (eksekutif
heavy) maka presiden itu gampang sewenang-wenang (abuse of power),
karena itu perlu juga bagaimana pengawasan legeslatif tersebut diperhatikan
sehingga check and balances tersebut dapat terjadi. Jadi sekali lagi,
bahwa ketika koalisi ini kita masih perjuangkan maka menurut saya seakan-akan
kita mendukung suatu peralihan paradigma dari eksekutif heavy menuju legeslatif
heavy.
F. Memperkuat Sistem
Pemerintahan Presidensial
Sekalipun
koalisi sistem presidensial dengan kepartaian majemuk menghadirkan banyak
kesulitan dan masalah, menilik design sistem pemilu presiden yang
berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Secara
konstitusional, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai
politik peserta pemilu. Kemudian, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mengharuskan syarat dukungan paling
sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional
dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.[17]
Dengan design legal
seperti itu, partai politik yang tengah memasang kuda-kuda menghadapai Pilpres mendatang
harus sejak dini mempertimbangkan agar koalisi tidak menjadi simalakama lagi
presiden. Bagaimanapun, ide dasar (design)pembentukan koalisi harus dalam
kerangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Kalau hanya dilandaskan
pada perhitungan untuk memenuhi target memenangkan pemilu, koalisi akan
mengalami pecah-kongsi sejak awal pembentukan pemerintahan. Oleh karena itu,
untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial, formula pembentukan koalisi
sistem parlementer yang dikemukakan Mainwaring di atas layak dipertimbangkan.
Dalam hal ini, semua partai politik yang ingin bergabung dalam koalisi
bersama-sama menentukan calon presiden dan wakil presiden yang akan mereka
ajukan. Untuk menentukan calon itu, misalnya, bisa saja digunakan koefisien hasil
pemilu legistif dan/atau popularitas calon. Kemudian, diikuti dengan distribusi
jabatan menteri. Dengan cara seperti itu, partai politik pendukung koalisi
mempunyai tanggung jawab yang lebih besar atas kelangsungan pemerintahan
koalisi.
Secara
sadar harus diakui, konsep yang ditawarkan ini memang akan menghilangkan
konsep-konsep ideal sistem pemerintahan presidensial. Misalnya, dengan mengacu
pola pembentukan koalisi dalam sistem parlementer tersebut, presiden akan
kehilangan hak prerogatifnya dalam pengisian anggota kabinet. Bagaimanapun,
dengan design yang ada saat ini, terobosan pemikiran amat diperlukan.
A. Kesimpulan
Sistem
multipartai menyebabkan fragmentasi luas dalam struktur politik Indonesia.
Selain itu, sistem pemilihan umum proportional representation yang
diterapkan di Indonesia
menyebabkan sulitnya membentuk majority government. Kombinasi
antara kedua sistem tersebut mendorong terbentuknya koalisi dalam
pemerintahan. Koalisi yang dibentuk sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden didominasi oleh transaksi politik mengenai pengisian jabatan di
eksekutif tanpa disertai perumusan platform bersama yang melemahkan
hak prerogatif Presiden. Profesionalisme yang semestinya menjadi dasar
pengisian jabatan dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi.
Keadaan ini berekses pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Dengan demikian,
praktik koalisi di Indonesia melemahkan sistem presidensial.
1.
Praktik
politik yang diwarnai oleh praktik koalisi menyebabkan ketidakstabilan hubungan
eksekutif dan legislatif karena anggota badan legislatif dari partai politik
yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah sepenuhnya. Untuk
menghindari pembentukan koalisi yang justru mengganggu stabilitas hubungan
antara ekskutif dan legislatif, perlu diadakan penataan sistem kepartaian dan
sistem pemilu Indonesia. Penataan sistem kepartaian dilakukan dengan
penyederhanaan jumlah partai peserta pemilu yaitu dengan meningkatkan electoral
threshold dan parliamentary threshold. Selain sistem
kepartaian, sistem proportional representation yang dianut
oleh Indonesia tidak mungkin menghasilkan majority government dan kurang
mendorong partai untuk berintegrasi sehingga menyebabkan bertambahnya jumlah
partai. Untuk menghindari berbagai ekses tersebut, maka sistem pemilu
yang tepat untuk Indonesia adalah sistem distrik yang mendorong
penyederhanaan partai secara alami dan memungkinkan bagi suatu partai untuk
meraih posisi mayoritas di badan legislatif dan setidaknya dapat
mengurangi fragmentasi kekuatan parpol yang ada sehingga memperkecil
kecenderungan pembentukan koalisi. Akan tetapi, apabila pembentukan koalisi
tersebut tidak dapat dihindari dalam praktik politik di Indonesia saat ini,
maka koalisi dapat saja dibentuk dengan tetap mempertahankan ide dasar untuk
memperkuat sistem pemerintahan presidensial melalui beberapa perbaikan yang
pada akhirnya akan menciptakan pola hubungan yang kondusif antara eksekutif dan
legislatif. Upaya perbaikan tersebut meliputi: pembentukan koalisi harus
dilakukan melalui serangkaian tahapan negosiasi formal; pelaksanaan praktik
koalisi tidak hanya didasarkan pada transaksi politik, tetapi juga didasarkan
pada platform bersama yang mengakomodasi kepentingan rakyat;
dan pelaksanaan praktik koalisi harus ditunjang dengan etika politik untuk
menyehatkan situasi psiko-politik di Indonesia.
2.
Di
lain hal perlu kita perhatikan bersama adalah tentang kualitas serta integritas
dari kandidat Legislator yang akan menentukan nasib bangsa ini, dimana hal itu
tidak begitu menentukan untuk terpilihnya mereka dalam sistem pemilu yang kita
miliki, dimana mayoritas suara dihasilkan berdasarkan kepentingan dan
keuntungan semata, sehingga sering ada ungkapan mengatakan “kekuatan keuangan menentukan
kemenangan” yang berarti praktik money politik dan mahar politik tidak bisa
dilepaskan dalam sistem pemilu kita. Masalah sistem pemilihan umum yang sangat
menguras Anggaran Negara dan keuangan calon legislator akhirnya menjadikan
disorientasi para wakil rakyat kita, sehingga tugas utama mereka yang
seharusnya menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak rakyat terabaikan
dan cenderung memburu keuntungan materi, akibatnya menghasilkan integritas
legislator yang tidak idealis dan cenderung pragmatis, orientasi politik kebangsaan
yang seharusnya dimiliki oleh para “negarawan” hampir tidak ada yang mewarnai
para anggota DPR RI kita, akhirnya hanya menyisakan para legislator yang
berpolitik praktis yang hanya memburu keuntungan dan kekuasaan semata.
B. Saran
1. Desain ketatanegaraan Indonesia
perlu dievaluasi dalam rangka mempertegas sistem presidensial. Komitmen
mempertegas sistem presidensial sebagai landasan kehidupan bernegara harus
diikuti dengan keinginan sungguh-sungguh untuk melaksanakan sistem presidensial
secara ajeg, termasuk segala akibat pemilihan sistem tersebut. Dengan demikian,
segala pranata atau instrumen yang memperlemah sistem presidensial harus
dihapuskan.
2. Apabila hambatan-hambatan hukum
tidak dapat diselesaikan melalui perubahan secara formal, maka praktik
ketatanegaraan serta praktik politik yang sehat harus dikembangkan guna
memperkokoh pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia. Perubahan secara
formal tersebut dilakukan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
peraturan perundang-undangan di bawahnya serta mengembangkan kebiasaan
ketatanegaraan. Selain itu, praktik politik perlu didukung oleh tingkah laku
politik yang beretika berlandaskan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan. Para
pelaku politik harus mampu memahami hakikat penyelenggaraan negara sehingga
kepentingan pribadi ataupun golongan tidak lagi mendominasi hubungan
eksekutif-legislatif.
(Makalah Ini didiskusikan pada FGD bersama MPR RI di Bengkulu pada tanggal 28 Oktober 2016)
daftar pustaka
[1]
Benjamin Reilly, “Government Structure and Electoral
system”,http://www.cic.nyu.edu/peacebuilding/oldpdfs/E20GovtStructureElectoralSystemsReilly.pdf,
diunduh 27/10/2016, 17.33 WIB.
[2]
Sistem pemerintahan parlementer dijalankan di Indonesia
sejak tanggal 14 November 1945 sampai 5 Juli 1959 ketika terbentuknya Kabinet
II dibawah pimpinan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Sistem parlementer
mendapatkan legalitasnya di dalam pasal 118 (2) Konstitusi RIS
dan pasal 83 (2) UUD Sementara 1950. Tidak stabilnya pemerintahan
1945-1959 merupakan salah satu indikasi gagalnya suatu sistem politik, ditandai
dengan jatuh bangunnya kabinet selama 14 tahun 17 kali ganti Kabinet.
Lihat:http://blog.uad.ac.id/syam/files/2016/11/New-Microsoft-Pert-4-6.ppt.
[3]
Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multi-Party, and
Democracy: The Difficult Equation”, http://kellogg.nd.edu/publications/workingpapers/WPS/144.pdf,
diunduh 27/10/2016, 17.44 WIB
[4]
Bagir
Manan, 1999, Lembaga Kepresidenan, Gama Media, Yogyakarta.Hlm 102.
[6]
http/fristianhumalanggionline/wordpress.com/university/materi lomba karya tulis
ilmiah piala mahkamah agung 2010
[7]
http/fristianhumalanggionline/wordpress.com/university/materi
lomba karya tulis ilmiah piala mahkamah agung 2010.
[8]
Scott Mainwaring,
“Presidentialism, Multi-Party, and Democracy: The Difficult
Equation”, http://kellogg.nd.edu/publications/workingpapers/WPS/144.pdf, diunduh 30/03/2010, 17.44 WIB
[9]
Almon Leroy Way, Jr., “The American System of Government: Politics &
Government in the U.S.A”,http://www.proconservative.net/CUNAPolSci201PartThreeB2.shtml.
[10]
ibid
[11] Saldi Isra, “Simalakama Koalisi Presidensial”,http://www.siwah.com/pendidikan/marketing-politik/simalakama-koalisi-presidensial.html
[13] Kompromi Disini dimaksud adalah
kesepakatan “ resultante” dalam artian bahwa konstitusi adalah merupakan hasil
kesepakatan para pembuatnya sesuai dengan kebutuhan idiologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (ipoleksosbudhankam) pada waktu
tertentu maka upaya memperbaikinya kembali harus selalu diberi peluang untuk
didiskusikan jika memang ada perubahan yang signifikan dalam bidang
ipoleksosbudhankam. Liat Mahfud MD, Perdebatan hukum tata negara pasca
reformasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, Hlm. Xii.
[14]
Bahwa kalau kita berbicara
tentang sistem presidensial maka kita merujuk kepada sistem pemerintahan
amerika serikat sedangkan kalau parlementer kita merujuk kepada sistem
pemerintahan inggris
[15]
Liat
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan UUD
NRI 1945 sesuai dengan urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sektetariat jenderal MPRRI,
2006, hlm.10.
[16]
Lihat
Saldi Isra, Problematika koalisi dalam sistem
presidensial,http://www.saldiisra.web.id
[17]
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar