Jumat, 28 Oktober 2016

Koalisi Menjinakkan DPR RI



A.  Praktik Koalisi Dalam Sistem Presidensial Indonesia
Perdebatan mengenai sistem pemerintahan bukanlah mengenai sistem mana yang lebih baik, melainkan mengenai pilihan mana yang lebih tepat bagi suatu negara berdasarkan struktur sosial, budaya politik dan sejarahnya,[1] karena setiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Secara historis, Indonesia pernah gagal menerapkan sistem parlementer.[2] Pasca Reformasi, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mempertegas sistem presidensial sebagai dasar penyelenggaraan negara. Namun, sistem kepartaian dan sistem pemilu Indonesia saat ini justru memperlemah sistem presidensial itu sendiri. Sistem kepartaian Indonesia, yakni multipartai, menyebabkan fragmentasi yang luas. Demikian pula sistem Pemilu Indonesia, yakni proportional representation, tidak mungkin menghasilkan majority government, Keadaan inilah yang mendorong partai politik untuk membentuk koalisi. Padahal koalisi adalah salah satu pranata sistem parlementer yang berekses negatif terhadap jalannya pemerintahan.
Scott Mainwaring mengemukakan tiga kelemahan koalisi jika dibentuk dalam sistem presidensial. Pertama, dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya, sementara partai politik mempunyai komitmen yang rendah dalam mendukung presiden. Kedua, anggota legislatif dari partai politik yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah sepenuhnya. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.[3]
Dalam konteks Indonesia, koalisi dibentuk sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan tujuan untuk memenangkan calon yang diusung oleh koalisi tersebut. Tawar-menawar antar partai yang berkoalisi justru mengenai pembagian jabatan menteri dan jabatan lainnya tanpa disertai perumusan  platformbersama, padahal menteri-menteri tersebut berasal dari partai politik yang berbeda dengan konstituen dan kepentingan yang berbeda pula. Hal inilah yang melemahkan hak prerogatif presiden dalam penyusunan kabinet. Profesionalisme yang semestinya menjadi dasar pengisian jabatan menteri dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi. Keadaan ini berekses pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Selain itu, koalisi yang dibentuk tidak menjamin bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi yang memiliki wakil di badan legislatif akan selalu mendukung program-program pemerintah. Padahal, salah satu tujuan dibentuknya koalisi agar presiden mendapat dukungan mayoritas badan legislatif untuk menghindari deadlock antara eksekutif dan legislatif serta immobilisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Praktik koalisi di Indonesia yang didorong oleh sistem multipartai dan sistem proportional representation justru memperlemah sistem presidensial dan mengganggu hubungan eksekutif dan legislatif.  Untuk menghindari pembentukan koalisi tersebut, penataan sistem kepartaian dan sistem pemilu Indonesia perlu dilakukan. Penataan tersebut dilakukan dengan penyederhanaan jumlah partai peserta pemilu melalui peningkatan electoral threshold dan parliamentary threshold yang dikombinasikan dengan sistem distrik. Sistem ini mendorong penyederhanaan partai secara alami dan memungkinkan bagi suatu partai untuk meraih posisi mayoritas di badan legislatif dan  setidaknya dapat mengurangi fragmentasi kekuatan parpol yang ada sehingga memperkecil kecenderungan pembentukan koalisi. Apabila pembentukan koalisi tidak dapat dihindari melalui mekanisme ini, maka koalisi dapat saja dibentuk dengan tetap mempertahankan ide dasar untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial melalui beberapa perbaikan yang pada akhirnya akan menciptakan pola hubungan yang kondusif antara eksekutif dan legislatif. Upaya perbaikan tersebut meliputi:pertama, pembentukan koalisi harus dilakukan melalui serangkaian tahapan negosiasi formal; kedua, pelaksanaan praktik koalisi tidak hanya didasarkan pada transaksi politik, tetapi juga didasarkan pada platform bersama yang mengakomodasi kepentingan rakyat; ketiga, pelaksanaan praktik koalisi harus ditunjang dengan etika politik untuk menyehatkan situasi psiko-politik di Indonesia. Saran yang diajukan yaitu: pertama, desain ketatanegaraan Indonesia perlu dievaluasi dalam rangka mempertegas sistem presidensial dan harus diikuti dengan keinginan sungguh-sungguh untuk melaksanakan sistem presidensial secara ajeg, kedua, apabila hambatan-hambatan hukum tidak dapat diselesaikan dengan cara melakukan perubahan secara formal, maka praktik ketatanegaraan serta praktik politik yang beretika berlandaskan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan harus dikembangkan guna menguatkan sistem presidensial di Indonesia
            Sistem kepartaian berkaitan dengan perilaku partai-partai sebagai bagian dari suatu sistem, yaitu bagaimana partai politik berinteraksi satu sama lain dan berinteraksi dengan unsur-unsur lain dari sistem itu. Prof. Bagir Manan menyatakan bahwa dalam suatu tatanan pemerintahan yang demokratis, hubungan timbal balik antara infrastruktur dan suprastruktur politik mempunyai peranan strategis.[4]  Infrastruktur utama yang berperan dalam sistem pemerintahan adalah sistem kepartaian. Sistem kepartaian menunjuk pada keanggotaaan partai di parlemen yang turut mempengaruhi fragmentasi politik di pemerintahan. Dengan demikian, semakin banyak jumlah partai politik maka semakin luas pula fragmentasi politik yang terjadi.[5]
            Kombinasi antara sistem multipartai dan sistem pemilihan umum proportional representation yang diterapkan di Indonesia saat ini menyebabkan sulitnya memperoleh suara mayoritas di badan legislatif dan majority government. Hal ini mendorong pembentukan pemerintahan koalisi. Prof. Bagir Manan mengartikan koalisi sebagai sistem eksekutif yang disusun, didukung dan terdiri dari orang-orang yang mewakili partai-partai politik yang mempunyai wakil di badan legislatif, dan bertanggung jawab kepada badan legislatif yang dibentuk untuk memperoleh dukungan mayoritas badan legislatif.
            Dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, disyaratkan pasangan calon harus diusulkan oleh partai politik  atau gabungan partai politik yang memperoleh kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden[6]. Akibatnya, koalisi menjadi satu-satunya pilihan bagi partai politik yang tidak memenuhi persyaratan tersebut untuk  mengusulkan pasangan calon Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dengan demikian,  sistem kepartaian  dan sistem pemilu Indonesia yang diterapkan saat ini mendorong pembentukan koalisi.
         Secara teoretis,  koalisi merupakan salah satu pranata yang dikenal dalam sistem parlementer. Dalam praktiknya, terkadang pranata ini berakibat negatif terhadap jalannya pemerintahan. Benjamin Reilly[7] dari Australian National University menyebutkan beberapa kelemahan koalisi. Pertama,  tendency towards ponderous or immobile decision-making karena lebih mudah mengalami executive deadlock  yang disebabkan oleh ketidakmampuan partai-partai koalisi untuk mencapai kesepakatan mengenai isu-isu tertentu. Kedua, lack of accountability and discipline karena sulit bagi para pemilih untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas suatu keputusan dan menilai kinerja pemerintahan. Ketiga, propensity towards weak or fragmanted government  karena dalam situasi yang terfragmentasi, eksekutif cenderung lemah dan tidak stabil sehingga melemahkan keberlanjutan dan arah kebijakan publik.
          Scott Mainwaring mengemukakan tiga kelemahan koalisi dalam sistem presidensial. Pertama, dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya, sementara partai politik mempunyai komitmen yang rendah dalam mendukung presiden. Kedua, anggota legislatif dari partai politik yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah sepenuhnya. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.[8] Oleh karena itu,  pembentukan koalisi dalam sistem presidensial lebih problematik dibanding dalam sistem parlementer.
             Dalam konteks Indonesia, koalisi dibentuk sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan tujuan untuk memenangkan calon yang diusung oleh koalisi tersebut. Tawar-menawar antar partai yang berkoalisi justru mengenai pembagian jabatan menteri dan jabatan lainnya tanpa disertai perumusan  platform bersama, padahal menteri-menteri tersebut berasal dari partai politik yang berbeda dengan konstituen dan kepentingan yang berbeda pula. Hal inilah yang melemahkan hak prerogatif presiden dalam penyusunan kabinet. Profesionalisme yang semestinya menjadi dasar pengisian jabatan menteri dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi. Keadaan ini berekses pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Selain itu, koalisi yang dibentuk tidak menjamin bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi yang memiliki wakil di badan legislatif akan selalu mendukung program-program pemerintah. Padahal, salah satu tujuan dibentuknya koalisi agar presiden mendapat dukungan mayoritas badan legislatif untuk menghindari deadlock antara eksekutif dan legislatif serta immobilisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Misalnya, kasus Bank Century yang menunjukkan lemahnya komitmen partai-partai yang menjadi mitra koalisi.
            Beberapa hari yang lalu ada sebuah kritikan terhadap lembaga Legislatif RI yang datang dari wakil ketua DPR RI sendiri tentang diamnya anggota DPR RI terhadap berbagai kebijakan eksekutif yang dinilai tidak sesuai rule yang ada, dimana seharusnya mereka duduk di Parlemen untuk bersuara dan mengkritisi kebijakan eksekutif yang dianggap menyimpang, namun karena jatah “kue” telah didapatkan tiada daya nurani untuk bersuara. Dalam kritikannya yang disampaikan melalui media social.
Semua negara yang rakyatnya sejahtera, legislatifnya akan kuat mengawasi eksekutif namun yang terjadi di Indonesia saat ini legislatif lemah karena adanya koalisi abal-abal yang pada hakikatnya bukan penyatuan visi, misi ataupun ideologi tetapi lebih kepada bagi-bagi kursi kekuasaan, akhirnya semua tindakan ngawur pemerintahan tidak ada yang mencegah, setiap hari di puji oleh media padahal sedang merusak Negara yang ini merupakan tugas pokok legislative sebagai dewan pengawas, namun semua sudah dilemahkan, padahal seharusnya minimal hak bertanya oleh DPR RI bisa dilakukan. Seperti, kenapa Presiden bermanuver dengan seringkali meresufle menteri dengan alasan yang tidak subtansial atau menjadikan orang asing menjadi menteri atau kenapa Presiden tidak melanjutkan kasus century, teman Ahok, reklamasi dan sumber waras atau mungkin kenapa gubernur DKI tidak diproses sementara gubernur lain diproses, ada banyak pertanyaan yang apabila tidak memuaskan DPR RI dapat mengajukan hak interpelasi (hak bertanya yang harus dijawab oleh Presiden di sidang paripurna DPR) jika jawaban hak interpelasi tidak memuaskan DPR bisa menggunakan hak angket (hak angket memungkinkan semua sisi gelap peristiwa diungkap terbuka) ini yang menjadi sorotan, karena jika hak angket digunakan maka tidak ada satupun pejabat yang tidak dapat dipanggil termasuk Presiden, dan jika hak angket hasilkan suatu temuan, DPR dapat gunakan hak menyatakan pendapat (HMP) dan inilah yang menakutkan.
            Diamnya legislatif saat ini tidak lepas disebabkan karena pragmatisme politik yang terjadi, padahal bukan menjadi alasan DPR untuk diam melihat dan mengetahui banyaknya masalah di pemerintahan walaupun itu dari partainya sendiri, bahwa dalam presidensialisme tidak seharusnya anggota DPR tunduk pada penguasa, meski ia satu partai. Kalau parlementer wajar, sebab koalisi pemerintahan itu dibentuk parlemen dan pemerintahan juga dibentuk parlemen maka otomatis anggota parlemen terikat dengan kekuasaan yang dia bentuk, berbeda dengan presidensial sebagaimana yang telah kita bahas diatas bahwa presiden yang membentuk kekuasaan dan parlemen tidak terlibat sehingga sejatinya ia berkoalisi dengan rakyat, parlemen ada untuk mengawasi kekuasaan yang dibentuk Presiden, sebab kalau semua sudah dikutsertakan masuk pemerintahan dan disuruh diam karena diberi jabatan, lalu siapa yang bertugas mengawasi pemerintah. Lalu siapa yang menjadi wakil rakyat untuk mengawasi pemerintah jika DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) diam.   
B.Restrukturisasi Praktik Politik dalam Rangka Penataan Hubungan Eksekutif dan Legislatif
             Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, kombinasi antara sistem multipartai dan sistem pemilihan umum proportional representationyang diterapkan di Indonesia saat ini menyebabkan sulitnya diperoleh suara mayoritas di parlemen dan majority government sehingga mendorong terbentuknya koalisi. Untuk menghindari pembentukan koalisi yang justru mengganggu stabilitas hubungan antara ekskutif dan legislatif, maka penataan sistem kepartaian dan sistem pemilu Indonesia perlu dilakukan.
            Berbeda dengan Indonesia, Amerika Serikat menerapkan sistem presidensial secara tegas dan konsisten dengan sistem dua partai (two-party system). Artinya,  ada dua partai berbeda yang mendominasi cabang kekuasaan eksekutif di satu sisi, dan cabang kekuasaan legislatif di sisi lainnya. Selain itu, sistem single member majoritarian congressional districts yang diterapkan negara ini semakin menutup kemungkinan bagi partai-partai lain untuk ikut serta dalam pencalonan presiden. Pemilihan Presiden dan Kongres dilaksanakan secara terpisah sehingga partai pemenang dalam pemilihan kongres tidak serta-merta menjadi pemenang dalam pemilihan presiden. Dengan demikian, presiden dan pejabat eksekutif lainnya bisa saja berasal dari satu partai sedangkan partai pemenang dalam pemilu kongres dapat saja menjadi partai oposisi.[9] Kombinasi antara sistem dua partai (two-party system) dan single member majoritarian congressional districts terbukti menghindarkan fragmentasi yang luas serta memungkinkan untuk menghasilkan majority government sehingga tidak perlu membentuk koalisi.
            Dalam konteks Indonesia yang merupakan negara yang plural, maka keanekaragaman budaya politik mendorong ke arah multipartai sehingga sulit  menerapkan sistem dua partai seperti di Amerika Serikat.  Sistem banyak partai ini menyebabkan fragmentasi kekuatan parpol semakin luas. Untuk menghindari terjadinya fragmentasi yang luas tersebut,  maka perlu diadakan penyederhanaan jumlah partai peserta pemilu. Penyederhanaan dapat dilakukan dengan meningkatkan ambang batas (electoral threshold) untuk membatasi jumlah partai peserta pemilu dan parliamentary threshold  untuk membatasi  jumlah partai yang memperoleh kursi di badan legislatif.[10] Perlu ditegaskan bahwa penyederhanaan tersebut bukan dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul yang telah dijamin dalam konstitusi, melainkan dimaksudkan untuk menyederhanakan jumlah partai. Oleh karena itu, peningkatan ambang batas ini harus diatur dalam undang-undang. Hal ini dikarenakan penerapan prinsip ambang batas dipandang membatasi keikutsertaan individu dalam pemerintahan. Pada prinsipnya, hanya rakyatlah yang dapat melakukan pembatasan tersebut.
Selain sistem kepartaian, sistem pemilu yang dianut  oleh Indonesia saat ini  yaitu proportional representation tidak mungkin menghasilkan majority government. Sebagaimana dikemukakan oleh Jean Blondel  bahwaproportional representation kurang mendorong partai untuk berintegrasi dan memperluas fragmentasi sehingga berujung pada perpecahan yang menyebabkan bertambahnya jumlah partai. Untuk menghindari berbagai ekses tersebut, maka penulis berpendapat bahwa sistem pemilu yang tepat untuk Indonesia adalah sistem distrik atau dikenal pula dengan istilah single-member constituency. Sistem ini mendorong penyederhanaan partai secara alami dan memungkinkan suatu partai untuk meraih posisi mayoritas di parlemen.[11]
            Pada hakikatnya, sistem distrik yang diterapkan dalam sistem multipartai dimaksudkan untuk menyederhanakan jumlah partai politik. Bahkan, penerapan sistem ini di Amerika Serikat menghasilkan dua partai dominan yang menghindarkan negara ini dari praktik koalisi. Apabila sistem distrik ini diterapkan di Indonesia, setidaknya dapat mengurangi fragmentasi kekuatan parpol yang ada sehingga memperkecil kecenderungan pembentukan koalisi. Akan tetapi, apabila pembentukan koalisi tersebut tidak dapat dihindari dalam praktik politik di Indonesia saat ini, maka koalisi dapat saja dibentuk dengan tetap mempertahankan ide dasar untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
            Konsekuensi logis dari pilihan mempertahankan praktik koalisi dalam sistem presidensial di Indonesia adalah dengan melakukan perbaikan-perbaikan dalam praktik koalisi tersebut. Pada akhirnya, perbaikan tersebut akan menciptakan pola hubungan yang kondusif antara eksekutif dan legislatif. Upaya perbaikan yang dapat dilakukan antara lain[12]:
Pertama, pembentukan koalisi dilakukan melalui serangkaian tahapan negosiasi formal untuk menghindari terjadinya inkoherensi paradigma bernegara, inkoherensi sistem politik dan pemerintahan, dan inkoherensi tingkah laku kekuasaan berdemokrasi antar partai koalisi. Tahapan negosiasi formal ini merupakan landasan penting untuk menetapkan komitmen dan konsistensi partai politik dalam rangka menjaga keberlangsungan koalisi. Dalam tahapan ini, partai politik yang akan membentuk koalisi bersama-sama menentukan calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung. Untuk menentukan calon tersebut, dapat didasarkan pada hasil pemilu legislatif dan/atau popularitas calon. Dengan demikian, partai politik anggota koalisi mempunyai tanggung jawab yang lebih besar atas kelangsungan pemerintahan koalisi.
Kedua, pelaksanaan praktik koalisi tidak hanya didasarkan pada transaksi politik, tetapi juga didasarkan pada platform bersama yang mengakomodasi kepentingan rakyat. Pembentukan platform ini didasari oleh kesamaan ideologi partai politik bersangkutan. Artinya, partai-partai yang mempunyai kesamaan ideologi saja yang dapat menjadi mitra koalisi. Selain itu, platform yang telah disepakati tersebut harus dideklarasikan kepada rakyat secara layak sehingga rakyat turut mengawal jalannya koalisi. Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat, koalisi tersebut harus menyampaikan pencapaian-pencapainnya selama masa pemerintahan.
Ketiga, pelaksanaan praktik koalisi harus ditunjang dengan etika politik untuk menyehatkan situasi psiko-politik di Indonesia.  Etika politik tersebut terefleksi dalam perilaku para pelaku politik. Oleh karena itu, diperlukan usaha sungguh-sungguh dari para pelaku politik untuk tidak terjebak dalam pragmatisme yang hanya berorientasi pada kepentingan sesaat dengan meninggalkan nilai-nilai dasar demokrasi dan kemanusiaan, serta tidak melemahkan sistem presidensial yang dilembagakan secara hukum melalui lembaga-lembaga kenegaraan.
C.  Koalisi Dalam Sistem Presidensial Menurut UUD
            Setelah reformasi 1998 bergulir ada sebuah tuntutan oleh masyarakat untuk mengubah struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu bagaimana mengubah UUD 1945. 1999-2002 adalah sebuah langkah awal yang diambil oleh kaum elit-etit kita melalui “kompromi politik”[13] untuk mengubah UUD 1945. tetapi sebelum melakukan perubahan UUD 1945, MPR dalam sidang istimewa MPR tahun 1998 mencabut ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang referendum yang mengharuskan terlebih dahulu penyelenggaraan referendum secara nasional dengan persyaratan demikian sulit  sebelum dilakukan perubahan  UUD 1945 oleh MPR.  Setelah ketetapan MPR itu dicabut maka diubahlah UUD 1945 sesuai dengan pasal 37 UUD 1945, walaupun dalam proses perdebatan tersebut banyak pakar yang berbeda pendapat dalam proses perubahan UUD 1945 yaitu apakah UUD 1945 di tetapkan dulu sesuai pasal 3 UUD 1945 ataukan langsung saja dilakukan perubahan tanpa ditetapkan. Tetapi yang terjadi adalah UUD 1945 tersebut langsung dilakukan perubahan tanpa dilakukan penetapan terlebih dahulu.  Kemudian ditengah proses perubahan UUD 1945, panitia Ad hoc I menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar itu terdiri atas lima butir, yaitu
1.      Tidak Mengubah Pembukaan UUD 1945.
2.      Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.      Mempertegas sistem pemerintahan Presidensial.
4.      Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan kedalam pasal-pasal ( batang tubuh ).
5.      Melakukan perubahan dengan cara adendum.
            Dalam permasalahan ini kita akan membahas tentang sistem pemerintahan. Dalam artian poin ketiga yaitu  Mempertegas sistem pemerintahan Presidensial. Karena para pendiri bangsa ini ketika mengubah UUD 1945 berdalih bahwa mempertegas sistem presidensial adalah bertujuan untuk memperkukuh pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh negara indonesia dan pada tahun 1945 telah dipilih oleh pendiri bangsa. Jadi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah indonesia menganut sistem presidensial seperti apa yang telah digagas para bangsa (the founding father’s)?.
          Kalau kita menelaah lebih jauh UUD 1945 setelah amandeman, memang tetap mempertahankan sistem presidensial, dengan dalih bahwa banyaknya Pasal-Pasal yang menguatkan posisi Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Setelah saya melihat dari 37 pasal dalam UUD 1945 setelah amandemen bahwa ada 19 Pasal yang menguatkan posisi presiden dan 2 (dua) pasal yang meminta persetujuan dan pertimbangan dari 37 pasal yang ada dalam UUD. Tetapi perlu dipahami walaupun banyak pasal yang menguatkan posisi presiden sebagai kepala negara dan kepala pemeritahan dalam UUD 1945 belum menjamin bahwa indonesia menganut sistem presidensial seperti apa ketika kita melikik kepada sistem pemeritahan presidensial amerika serikat.[14] karena ada beberapa pasal juga yang dimana praktek-praktek parlementer itu masuk dalam UUD kita.
             Seperti pasal 20[15] bahwa “setiap rancangan undang-undangan dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan berasama.” Pasal ini mempertegas bahwa setiap rancangan undang-undang yang ingin dibuat maka harus mendapat persetujuan bersama antara eksekutif dan legeslatif, seandainya itu tidak terjadi maka hal tersebut maka proses pembahasan undang-undang yang ingin dibuat tidak dapat diealisasikan. Sedangkan salah satu ciri sistem presidensial menurut jimly asshiddiqy adalah terdapat pemisahan yang jelas antara legeslatif dan eksekutif, jadi secara tidak langsung ada suautu pemisahan yang tegas antara cabang-cabang lembaga negara tersebut. Tetapi dengan melihat pasal ini maka ada suautu ketidaktegasan pemisahan kekuasaan antara legeslatif dan eksekutif, karena seakan-akan antara ekekutif dan legeslati melebur menjadi satu yang saling kait mengkitkan atau saling membutuhkan, sehingga ciri ini lebih dekat dengan sistem parlementer yang dianut dibeberapa negara didunia. Tetapi walaupun demikinan banyak pakar hukum tata negara menyatakan bahwa Indonesia lebih dekat dengan sistem pemerintahan yang bersifat semi presidensial (hibryd system).             
D.  Sejauh mana Konstitusi atau UUD 1945 melihat Koalisi tersebut, apakah memberikan ruang untuk melaksanakan koalisi dalam sistem presidensial.
            Secara eksplisit, kalau kita melihat dalam UUD 1945 sebenarnya keberadaan koalisi tersebut merujuk kepada Pasal 6A (2) bahwa“Pasangan calon presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Kata “gabungan partai politik” disini sebenarnya membenarkan adanya koalisi karena kata “gabungan” tersebut bermakna bahwa ada lebih dari satu partai yang menggabungakan lalu mengusulkan seorang presiden. Jadi jelas bahwa koalisi dibenarkan keberadaannya. Tetapi menurut hemat saya koalisi itu dibenarkan secara konstitusi hanya pada proses mengusulkan calon presiden, bukan dalam proses jalannya sebuah pemerintahan. Jadi sudah jelas bahwa menurut hemat saya konstitusi hanya memberikan ruang untuk melaksanakan kolasi dalam mencalonkan seorang presiden dan wakil presiden dan selain itu tidak diperbolehkan adanya. Derivasi dari UU No.42 Tahun 2008 juga membenarkan hal tersebut dalam pasal 9 bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
         Jadi ketika dalam proses pemerintahan ada sebuah koalisi ini sesuatu yang tidak sejalan dengan konstitusi, apalagi seperti apa yang saya kemukakan sebelumnya bahwa koalisi dalam sistem presidensial adalah sesuatu yang tabuh karena koalisi dalam sistem presidensial dan sistem parlementer adalah sesuatu yang berbeda. Karena itu, dalam tulisan “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination” Mainwaring menyatakan bahwa the combination of presidentialism and multipartism is complicated by the difficulties of interparty coalition-buliding in prresidential democracies.Jika dibandingkan dengan pembentukan koalisi dalam sistem parlementer, Scott Mainwaring mengemukakan tiga perbedaan koalisi multi-partai dalam sistem pemerintahan presidensial.
“Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih menteri-menteri dan perdana menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawab memberikan dukungan kepada pemerintah. Sedangkan dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya (presidents put together their own cabinets) dan partai politik punya komitmen yang rendah untuk mendukung presiden. Kedua, berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota legislatif dari partai politik yang punya menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik untuk membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.[16]
Kemudian koalisi tersebut sebenarnya juga tidak dapat dihindari karena fakta yang terjadi bahwa indonesia menganut sistem multy partai, jadi suatu keharusan bagi presiden untuk membuat suatu koalisi. Karena ini merupakan suatu langkah yang darurat yang harus dilakukan oleh presiden. Karena bagaimana pun presiden membutuhkan uluran tangan dari DPR untuk memuluskan kebijakan-kebijakan presiden kedepannya, baik dalam proses legeslasi maupun non-legeslasi.
Sudah dijelaskan sebelumnya dalam UUD 1945 pasal  20(2) “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” dan ayat (3) “Jika rancangan undang-undang tersebut tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.” Maka sudah jelas dalam konstitusi indonesia bahwa sesuatu yang sakral bagi presiden dan DPR untuk bersama-sama memuluskan suatu kebijakan legeslasi dan ketika salah satunya saja tidak menyetujui maka program legeslasi itu pun batal dengan sendirinya. Maka yang menjadi sesuatu hal yang buruk terjadi ketika Partai pendukung presiden di DPR itu minoritas, maka presiden tersebut harus membangun kekuatan diparlemen untuk memuluskan kebijakannya, karena itu biasanya dalam negara yang menganut sistem multy partai , hal yang sering dilakukan adalah bagaimana melakukan koalisi-koalisi. Tetapi bagaimanapun seperti apa yang tadi saya kemukakan sesuatu hal yang sulit itu akan terjadi ketika sistem multy partai digabungakn dengan sistem presidensial karena koalisi yang dihasilkan gampang terjadi kerapuhan atau ketidakkonsistenan. Dan itu terjadi secara fakta di Indonesia.
E.  Koalisi dalam sistem presidensial  mendukung suatu peralihan paradigma dari eksekutf heavy menuju legeslatif heavy.
Setelah reformasi bergulir 1998, terjadi suatu perubahan struktur ketatanegaraan secara bertahap diinodonesia yaitu dengan mengamandemen UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali (1999-2002). Dimana dulu ada lembaga tertinggi negara yaitu MPR, dengan diamandemennya UUD 1945 maka tidak ada lagi lembaga negara yang mendominasi. Sekarang antar lembaga negara hanya ada prinsip check and balance dan tidak ada prinsip saling mebawahi seperti dulu. salah satu agenda reformasi selain bagaimana mengutkan demokratisasi yang ada diindonesia adalah bagaimana juga menguatkan sistem presidensial (eksekutif heavy)  diindonesia, tetapi tetap dalam bingkai konstitusonal agar tidak terjadi juga kesewenang-wenangan oleh presiden (abuse of power). Tetapi yang menjadi suatu masalah yang dihadapi negeri ini setelah reformasi adalah banyaknya partai politik yang mendominasi sehingga indonesia menganut sistem partai yang majemuk(multiparty system). Jadi setelah reformasi ada suatu peralihan sistem partai yang ada diindonesia yaitu bagaimana yang dahulunya cuman ada 3 (tiga) partai sekarang menajdi banyak partai (multiparty system). Dan inilah menjadi titik kekacauan menurut saya setelah reformasi itu bergulir yaitu indonesia menganut sistem multi partai.
            Seperti apa yang saya kemukakan sebelumya bahwa disatu sisi the founding father’s kita mengeinginkan memperkuat sistem presidensial kita. Tetapi disatu sisi harus dihadapkan dengan sistem multypartai, padahal ketika sistem multi partai digabungkan dengan sistem presidensial maka rentang terjadi suatu pemerintahan yang terbelah, seperti apa yang dikemukakan oleh scott mainwaring. Rentang terjadi konflik antara legeslatif dan eksekutif, dan disatu sisi juga dimana gampang terjadi kompromi sehingga hak-hak konstitusional presiden terganggu karena harus membangun koalisi. Dan disatu sisi koalisi tersebut tidak permanen. Fakta itupun terjadi kalau kita melihat kasus hak angket bank century dimana koalisi yang dibangun oleh pemerintah tak dapat berbuat apa-apa sehingga 2 partai yang tergabung dalam koalisi sedikit berlawanan arah dengan koalisi tersebut sehingga kita dapat berkesimpulan bahwa koalisi yang dibangun tak permanen. Disatu sisi juga, presiden gampang “tersandra” akibat multypartai tersebut sehingga harus melakukan kompromi-kompromi yang berujung pada kepentingan-kepentingan elitis belaka jasa.
          Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apa yang harus diperbuat ?. menurut hemat saya banyak hal yang bisa dilakukan, seandainya UUD 1945 dapat diamanden lagi, saya cuman berharap untuk menguatkan sistem presidensial tersebut harus ada suatu perubahan besar-besaran dalam pasal-pasal dalam UUD 1945 terutama yang bernuansa parlementer, dimana pasal yang berkaitan dengan parlementer itu diubah kalau betul ingin menguatkan sistem presidensial. Karena banyak diantara pakar hukum tata negara mengemukakkan bahwa sistem pemerintahan indonesia lebih ke semi-presidensial. Kemuadian, sistem multypartai ini harus disederhanakan. Walaupun memang masih banyak yang mengatakan bahwa ini melanggas demokrasi diindonesia karena melakukaan suatu pembatasan. Indonesia telah menerapkan semacam parlementery treshold , itu perlu diberi suatu suport terhadap hal tersebut. Yaitu ambang batas partai politik untuk masuk dalam parlemen tersebut pelu dinaikkan karena kalau kita melihat UU No.10 Tahun 2008 maka ambang batas itu hanya 2,5 %, sehingga waktu pemilu 2009  ada 9 (sembilan) partai yang masuk dalam DPR ( Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PAN, PKB, PPP, Gerindra dan Hanura ), dan menurut saya partai yang ada dalam DPR tersebut masuh terlau banyak dan masih perlu ditambanh ambang batasnya. Kalau hemat saya sih, harusnya ambang batas itu sampai 5-7 % dinaikkan. Karena itu lebih efektif untuk menstabilkan jalannya pemerintahan karena multypartai tersebut bisa teratasi sedikit-demi sedikit. Walapun masih banyak orang yang mengatakan ini melanggar demokrasi. Tetapi menurut saya ini bukan melanggarar sebuah demokrasi karena sesuai dengan UU No.2 tahun 2008 Jo. UU no. 2 Tahun 2011 tentang partai politik tersebut setiap orang berhak membuat partai politik dan itu tidak ada batasan yang penting memenuhi syarat yang ada dalam undang-undang tersebut. Dan dengan adanyaparlementary treshold itu menurut saya bukan suatu batasan, karena partai-partai yang dipilih tersebut akan terseleksi dengan sendirinya dan rakyat yang menentukan apakah parwakilan-paerwakilan partai tersebut berhak masuk parlemen dengan adanya parlementery treshold.
               Kemudian seandainya penguatan presidensial itu terjadi dan multIpartai tersebut mulai dihilangkan di negeri ini maka sistem check anda balace juga harus diperkuat. Jangan sampai ketika presiden terlalu dikuatkan (eksekutif heavy) maka presiden itu gampang sewenang-wenang (abuse of power), karena itu perlu juga bagaimana pengawasan legeslatif tersebut diperhatikan sehingga check and balances tersebut dapat terjadi. Jadi sekali lagi, bahwa ketika koalisi ini kita masih perjuangkan maka menurut saya seakan-akan kita mendukung suatu peralihan paradigma dari eksekutif heavy menuju legeslatif heavy.
F. Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidensial
Sekalipun koalisi sistem presidensial dengan kepartaian majemuk menghadirkan banyak kesulitan dan masalah, menilik design sistem pemilu presiden yang berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Secara konstitusional, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mengharuskan syarat dukungan paling sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.[17]
          Dengan design legal seperti itu, partai politik yang tengah memasang kuda-kuda menghadapai Pilpres mendatang harus sejak dini mempertimbangkan agar koalisi tidak menjadi simalakama lagi presiden. Bagaimanapun, ide dasar (design)pembentukan koalisi harus dalam kerangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Kalau hanya dilandaskan pada perhitungan untuk memenuhi target memenangkan pemilu, koalisi akan mengalami pecah-kongsi sejak awal pembentukan pemerintahan. Oleh karena itu, untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial, formula pembentukan koalisi sistem parlementer yang dikemukakan Mainwaring di atas layak dipertimbangkan. Dalam hal ini, semua partai politik yang ingin bergabung dalam koalisi bersama-sama menentukan calon presiden dan wakil presiden yang akan mereka ajukan. Untuk menentukan calon itu, misalnya, bisa saja digunakan koefisien hasil pemilu legistif dan/atau popularitas calon. Kemudian, diikuti dengan distribusi jabatan menteri. Dengan cara seperti itu, partai politik pendukung koalisi mempunyai tanggung jawab yang lebih besar atas kelangsungan pemerintahan koalisi.
 Secara sadar harus diakui, konsep yang ditawarkan ini memang akan menghilangkan konsep-konsep ideal sistem pemerintahan presidensial. Misalnya, dengan mengacu pola pembentukan koalisi dalam sistem parlementer tersebut, presiden akan kehilangan hak prerogatifnya dalam pengisian anggota kabinet. Bagaimanapun, dengan design yang ada saat ini, terobosan pemikiran amat diperlukan.
A.    Kesimpulan
Sistem multipartai menyebabkan fragmentasi luas dalam struktur politik Indonesia. Selain itu, sistem pemilihan umum proportional representation yang diterapkan di Indonesia menyebabkan sulitnya membentuk majority government. Kombinasi antara kedua sistem tersebut mendorong terbentuknya koalisi dalam pemerintahan. Koalisi yang dibentuk sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden didominasi oleh transaksi politik mengenai pengisian jabatan di eksekutif tanpa disertai perumusan platform bersama yang melemahkan hak prerogatif  Presiden. Profesionalisme yang semestinya menjadi dasar pengisian jabatan dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi. Keadaan ini berekses pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Dengan demikian, praktik koalisi di Indonesia melemahkan sistem presidensial.
1.      Praktik politik yang diwarnai oleh praktik koalisi menyebabkan ketidakstabilan hubungan eksekutif dan legislatif karena anggota badan legislatif dari partai politik yang mempunyai menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah sepenuhnya. Untuk menghindari pembentukan koalisi yang justru mengganggu stabilitas hubungan antara ekskutif dan legislatif, perlu diadakan penataan sistem kepartaian dan sistem pemilu Indonesia. Penataan sistem kepartaian dilakukan dengan penyederhanaan jumlah partai peserta pemilu yaitu dengan meningkatkan electoral threshold dan parliamentary threshold. Selain sistem kepartaian, sistem proportional representation yang dianut oleh Indonesia tidak mungkin menghasilkan majority government dan kurang mendorong partai untuk berintegrasi sehingga menyebabkan bertambahnya jumlah partai.  Untuk menghindari berbagai ekses tersebut, maka sistem pemilu yang tepat untuk Indonesia adalah sistem distrik yang mendorong penyederhanaan partai secara alami dan memungkinkan bagi suatu partai untuk meraih posisi mayoritas di badan legislatif dan  setidaknya dapat mengurangi fragmentasi kekuatan parpol yang ada sehingga memperkecil kecenderungan pembentukan koalisi. Akan tetapi, apabila pembentukan koalisi tersebut tidak dapat dihindari dalam praktik politik di Indonesia saat ini, maka koalisi dapat saja dibentuk dengan tetap mempertahankan ide dasar untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial melalui beberapa perbaikan yang pada akhirnya akan menciptakan pola hubungan yang kondusif antara eksekutif dan legislatif. Upaya perbaikan tersebut meliputi: pembentukan koalisi harus dilakukan melalui serangkaian tahapan negosiasi formal; pelaksanaan praktik koalisi tidak hanya didasarkan pada transaksi politik, tetapi juga didasarkan pada platform bersama yang mengakomodasi kepentingan rakyat; dan pelaksanaan praktik koalisi harus ditunjang dengan etika politik untuk menyehatkan situasi psiko-politik di Indonesia.
2.      Di lain hal perlu kita perhatikan bersama adalah tentang kualitas serta integritas dari kandidat Legislator yang akan menentukan nasib bangsa ini, dimana hal itu tidak begitu menentukan untuk terpilihnya mereka dalam sistem pemilu yang kita miliki, dimana mayoritas suara dihasilkan berdasarkan kepentingan dan keuntungan semata, sehingga sering ada ungkapan mengatakan “kekuatan keuangan menentukan kemenangan” yang berarti praktik money politik dan mahar politik tidak bisa dilepaskan dalam sistem pemilu kita. Masalah sistem pemilihan umum yang sangat menguras Anggaran Negara dan keuangan calon legislator akhirnya menjadikan disorientasi para wakil rakyat kita, sehingga tugas utama mereka yang seharusnya menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak rakyat terabaikan dan cenderung memburu keuntungan materi, akibatnya menghasilkan integritas legislator yang tidak idealis dan cenderung pragmatis, orientasi politik kebangsaan yang seharusnya dimiliki oleh para “negarawan” hampir tidak ada yang mewarnai para anggota DPR RI kita, akhirnya hanya menyisakan para legislator yang berpolitik praktis yang hanya memburu keuntungan dan kekuasaan semata.
B.   Saran
1.      Desain ketatanegaraan Indonesia perlu dievaluasi dalam rangka mempertegas sistem presidensial. Komitmen mempertegas sistem presidensial sebagai landasan kehidupan bernegara harus diikuti dengan keinginan sungguh-sungguh untuk melaksanakan sistem presidensial secara ajeg, termasuk segala akibat pemilihan sistem tersebut. Dengan demikian, segala pranata atau instrumen yang memperlemah sistem presidensial harus dihapuskan.
2.      Apabila hambatan-hambatan hukum tidak dapat diselesaikan melalui perubahan secara formal, maka praktik ketatanegaraan serta praktik politik yang sehat harus dikembangkan guna memperkokoh pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia. Perubahan secara formal tersebut dilakukan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya serta mengembangkan kebiasaan ketatanegaraan. Selain itu, praktik politik perlu didukung oleh tingkah laku politik yang beretika berlandaskan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan. Para pelaku politik harus mampu memahami hakikat penyelenggaraan negara sehingga kepentingan pribadi ataupun golongan tidak lagi mendominasi hubungan eksekutif-legislatif.
(Makalah Ini didiskusikan pada FGD bersama MPR RI di Bengkulu pada tanggal 28 Oktober 2016)



 


 daftar pustaka


[1] Benjamin Reilly, “Government Structure and Electoral system”,http://www.cic.nyu.edu/peacebuilding/oldpdfs/E20GovtStructureElectoralSystemsReilly.pdf, diunduh 27/10/2016, 17.33 WIB.
[2] Sistem pemerintahan parlementer dijalankan di Indonesia sejak tanggal 14 November 1945 sampai 5 Juli 1959 ketika terbentuknya Kabinet II dibawah pimpinan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.  Sistem parlementer mendapatkan legalitasnya di dalam  pasal 118 (2)  Konstitusi RIS dan  pasal 83 (2) UUD Sementara 1950. Tidak stabilnya pemerintahan 1945-1959 merupakan salah satu indikasi gagalnya suatu sistem politik, ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet selama 14 tahun 17  kali ganti Kabinet. Lihat:http://blog.uad.ac.id/syam/files/2016/11/New-Microsoft-Pert-4-6.ppt.
[3] Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multi-Party, and Democracy: The Difficult Equation”,  http://kellogg.nd.edu/publications/workingpapers/WPS/144.pdf, diunduh 27/10/2016, 17.44 WIB
[4] Bagir Manan, 1999, Lembaga Kepresidenan, Gama Media, Yogyakarta.Hlm 102.
[5] Ibid, hlm 123
[6] http/fristianhumalanggionline/wordpress.com/university/materi lomba karya tulis ilmiah piala mahkamah agung 2010
[7] http/fristianhumalanggionline/wordpress.com/university/materi lomba karya tulis ilmiah piala mahkamah agung 2010.
[8] Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multi-Party, and Democracy: The Difficult Equation”,  http://kellogg.nd.edu/publications/workingpapers/WPS/144.pdf, diunduh 30/03/2010, 17.44 WIB
[9] Almon Leroy Way, Jr., “The American System of Government: Politics & Government in the U.S.A”,http://www.proconservative.net/CUNAPolSci201PartThreeB2.shtml.

[10] ibid
[12] Saldi Isra, Problematika koalisi dalam sistem presidensial,http://www.saldiisra.web.id

[13] Kompromi Disini dimaksud adalah kesepakatan “ resultante” dalam artian bahwa konstitusi adalah merupakan hasil kesepakatan para pembuatnya sesuai dengan kebutuhan idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (ipoleksosbudhankam) pada waktu tertentu maka upaya memperbaikinya kembali harus selalu diberi peluang untuk didiskusikan jika memang ada perubahan yang signifikan dalam bidang ipoleksosbudhankam. Liat Mahfud MD, Perdebatan hukum tata negara pasca reformasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, Hlm. Xii.
[14] Bahwa kalau kita berbicara tentang sistem presidensial maka kita merujuk kepada sistem pemerintahan amerika serikat sedangkan kalau parlementer kita merujuk kepada sistem pemerintahan inggris
[15] Liat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan UUD NRI 1945 sesuai dengan urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Sektetariat jenderal MPRRI, 2006, hlm.10.
[16] Lihat Saldi Isra, Problematika koalisi dalam sistem presidensial,http://www.saldiisra.web.id
[17] Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar