Senin, 02 Oktober 2017

Keruntuhan sang jenderal besar


Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto. Indikasi penyimpangan terlihat dari anggaran dasar yayasan tersebut.

6 September 1998
Soeharto lewat Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) mengumumkan bahwa dia tak memiliki kekayaan seperti yang disebut-sebut oleh berbagai media massa saat itu. "Saya tidak punya uang satu sen pun," demikian kata Soeharto.

9 September 1998
Tim Konsultan Cendana meminta kepada Presiden serta Menteri Pertahanan dan Keamanan untuk menjaga dan melindungi Soeharto ekstraketat dari hinaan, cercaan, dan hujatan yang ditujukan kepadanya.


11 September 1998

Pemerintah Swiss menyatakan bersedia membantu pemerintah RI melacak rekening-rekening Soeharto di luar negeri. (Baca juga: Tommy Kaitkan Perkara Supersemar dengan Persaingan Rezim)


15 September 1998

Jaksa Agung Andi M. Ghalib ditunjuk sebagai Ketua Tim Investigasi Kekayaan Soeharto.


21 September 1998

Jaksa Agung Andi M. Ghalib berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, untuk mengklarifikasi kekayaan Soeharto.


25 September 1998

Soeharto datang ke Kantor Kejaksaan Agung untuk menyerahkan dua konsep surat kuasa guna mengusut harta kekayaannya, baik di dalam maupun di luar negeri.

29 September 1998
Kejaksaan Agung membentuk Tim Penyelidik, Peneliti dan Klarifikasi Harta Kekayaan Soeharto dipimpin Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Antonius Sujata.


22 Oktober 1998

Jaksa Agung Andi M Ghalib menyatakan keputusan presiden yang diterbitkan mantan presiden Soeharto terkait Yayasan Supersemar, sudah sah secara hukum. Kesalahan terletak pada pelaksanaannya. (Baca juga: Keluarga Soeharto Diminta Bayar Ganti Rugi Rp 4,4 Triliun)


21 November 1998

Presiden Habibie mengusulkan pembentukan komisi independen untuk mengusut harta Soeharto. Tapi usul ini kandas.

22 November 1998
Soeharto menulis surat kepada Presiden Habibie, berisi pemberitahuan penyerahan tujuh yayasan yang dipimpinnya kepada pemerintah.


2 Desember 1998

Presiden Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun 1998 tentang Pengusutan Kekayaan Soeharto.

5 Desember 1998
Jaksa Agung mengirimkan surat panggilan kepada Soeharto.
7 Desember 1998
Di depan Komisi I DPR, Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan Soeharto: Dharmais, Dakab (Dana Abadai Karya Bhakti), Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora.  (Baca juga: Keluarga Soeharto Belum Tahu Harus Bayar Rp 4,4 Triliun)


Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp4,014 triliun. Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri senilai deposito Rp24 miliar, dengan Rp23 miliar tersimpan di rekening BCA, serta tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana.

9 Desember 1998
Soeharto diperiksa Tim Kejaksaan Agung terkait dugaan penyalahgunaan dana di sejumlah yayasan, program Mobil Nasional, kekayaan di luar negeri, perkebunan dan peternakan Tapos.


Pemeriksaan Soeharto selama empat jam dipimpin Jampidsus Antonius Sujata di Gedung Kejaksaan Tinggi Jakarta. Pemeriksaan saat itu batal dilakukan di Gedung Kejaksaan Agung dengan alasan keamanan.



12 Januari 1999



Tim 13 Kejaksaan Agung menyatakan menemukan indikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto.



4 Februari 1999

Kejaksaan Agung memeriksa Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut, putri sulung Soeharto, selaku Bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dipimpin Soeharto.


9 Februari 1999

Soeharto melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya mengembalikan uang negara sebesar Rp 5,7 triliun.


11 Maret 1999

Soeharto, melalui kuasa hukumnya Juan Felix Tampubolon, meminta Jaksa Agung menghentikan penyelidikan terhadapnya atas dugaan korupsi kolusi nepotisme.


13 Maret 1999

Soeharto menjalani pemeriksaan tim dokter yang dibentuk Kejaksaan Agung di RSCM.  (Simak FOKUS: Ungkit Kembali Perkara Soeharto)

16 Maret 1999
Koran The Independent, London, memberitakan Keluarga Cendana menjual properti di London senilai 11 juta poundsterling (setara Rp 165 miliar).

26 Mei 1999 
Jampidsus Antonius Sujata, Ketua Tim Pemeriksaan Soeharto, dimutasi.

27 Mei 1999
Soeharto menyerahkan surat kuasa kepada Kejaksaan Agung untuk mencari fakta dan data berkaitan dengan simpanan kekayaan di bank-bank luar negeri (Swiss dan Austria).

28 Mei 1999
Soeharto mengulangi pernyataan bahwa dia tidak punya uang sesen pun.



30 Mei 1999



Andi Ghalib dan Menteri Kehutanan Muladi berangkat ke Swiss untuk menyelidiki dugaan transfer uang sebesar US$ 9 miliar dan melacak harta Soeharto lainnya.




11 Juni 1999



Muladi menyampaikan hasil penyelidikannya bahwa dia tidak menemukan simpanan uang Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria. 




9 Juli 1999



Tiga kroni Soeharto –Bob Hasan, Kim Yohannes Mulia dan Deddy Darwis– diperiksa Kejaksaan Agung dalam kasus yayasan yang dikelola Soeharto.




19 Juli 1999



Soeharto terserang stroke dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan. 




11 Oktober 1999



Pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti. Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto. Aset yang ditemukan diserahkan kepada pemerintah. 




6 Desember 1999



Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid membuka kembali pemeriksaan kekayaan Soeharto.



Jaksa Agung baru, Marzuki Darusman, mencabut SP3 Soeharto.




29 Desember 1999



Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan Soeharto atas pencabutan SP3 oleh Jaksa Agung.




14 Februari 2000



Kejaksaan Agung memanggil Soeharto guna menjalani pemeriksaan sebagai tersangka tapi tidak hadir dengan alasan sakit.




16 Februari 2000



Jaksa Agung Marzuki Darusman membentuk Tim Medis untuk memeriksa kesehatan Soeharto.




31 Maret 2000



Soeharto dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang dipimpinnya.




3 April 2000



Tim Pemeriksa Kejaksaan Agung mendatangi kediaman Soeharto di Jalan Cendana. Baru dua pertanyaan diajukan, tiba-tiba tekanan darah Soeharto naik.




13 April 2000 



Soeharto dinyatakan sebagai tahanan kota.




29 Mei 2000



Soeharto dikenakan tahanan rumah.




7 Juli 2000



Kejaksaan Agung mengeluarkan surat perpanjangan kedua masa tahanan rumah Soeharto.




14 Juli 2000



Pemeriksaan Soeharto dinyatakan cukup dan siap diberkas setelah Kejaksaan Agung meminta keterangan dari 140 saksi.




15 Juli 2000



Kejaksaan Agung menyita aset dan rekening yayasan-yayasan Soeharto.




3 Agustus 2000



Soeharto resmi menjadi tersangka penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya dan dinyatakan sebagai terdakwa berbarengan dengan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.




8 Agustus 2000 



Kejaksaan Agung menyerahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.




22 Agustus 2000



Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra menyatakan proses peradilan Soeharto dilakukan di Departemen Pertanian, Jakarta Selatan, karena alasan keamanan.




23 Agustus 2000



PN Jakarta Selatan memutuskan sidang pengadilan Soeharto digelar pada 31 Agustus 2000 dan Soeharto diperintahkan hadir.




31 Agustus 2000



Soeharto tidak hadir dalam sidang pengadilan pertamanya. Tim Dokter menyatakan Soeharto tidak mungkin mengikuti persidangan dan Hakim Ketua Lalu Mariyun memutuskan memanggil tim dokter pribadi Soeharto dan tim dokter RSCM untuk menjelaskan perihal kesehatan Soeharto.




14 September 2000



Soeharto kembali tidak hadir di persidangan dengan alasan sakit. 




23 September 2000



Soeharto menjalani pemeriksaan di RS Pertamina selama sembilan jam oleh 24 dokter yang diketuai Prof dr M Djakaria. Hasil pemeriksaan menunjukkan, Soeharto sehat secara fisik, namun mengalami berbagai gangguan syaraf dan mental sehingga sulit diajak komunikasi. Berdasar hasil tes kesehatan ini, pengacara Soeharto menolak menghadirkan kliennya di persidangan.




28 September 2000



Majelis Hakim menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan karena alasan kesehatan. Majelis juga membebaskan Soeharto dari tahanan kota.




27 Maret 2008



PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Kejaksaan Agung dan menghukum Yayasan Supersemar yang diketuai Soeharto membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp46 miliar karena menyelewengkan pengelolaan dana pendidikan. Saat itu Soeharto telah wafat, sehingga tanggung jawab jatuh kepada keluarganya selaku ahli waris.




19 Februari 2009



Putusan PN Jakarta Selatan diperkuat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum.




28 Oktober 2010



Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta diperkuat lagi di tingkat kasasi Mahkamah Agung. Majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Harifin Tumpa menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada negara. 



Namun putusan itu salah ketik, yang mestinya tertulis Rp185 miliar malah jadi Rp185 juta. Jumlah nol dalam ketikan tersebut kurang tiga. Kesalahan ketik ini membuat putusan tidak dapat dieksekusi. Keluarga Sooeharto tidak diperintahkan membayar ganti rugi kepada negara saat itu juga.




September 2013



Jaksa mengajukan Peninjauan Kembali atas perkara Yayasan Supersemar. Serupa, Yayasan Supersemar pun mengajukan PK.




Juli 2015



Mahkamah Agung memutus mengabulkan PK Jaksa dan menolak PK Yayasan Supersemar sehingga keluarga Soeharto harus membayar ganti rugi Rp4,4 triliun kepada negara (berdasarkan kurs saat ini).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar